Cerfet #MFF : Gerimis Kala Senja

foto : qelasilyas.wordpress.com
foto : qelasilyas.wordpress.com

cerita sebelumnya:
– BAGIAN PERTAMA
– BAGIAN KEDUA

Ratih mendekap buku harian usang di dadanya penuh perasaan . Sesekali dihelanya napas panjang dan dalam. Alya menanti dengan sabar. Pasti yang akan diceritakan ibunya adalah sebuah kisah yang sangat membekas dalam hatinya.

“Bu, jika menceritakan kisah ini justru mengembalikan luka di hati Ibu, lebih baik tidak usah saja.”

Alya menatap mata Ibunya yang mulai berkaca. Ratih menggeleng, mengusir butiran bening di pelupuk. “Tak apa, Al. Ibu cuma perlu waktu untuk menguatkan diri.”

Ratih tersenyum. “Kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Nyaris tak ada istimewanya kisah cinta kami berdua. Bertemu pertama kali saat magang di sebuah perusahaan setamat kuliah. Lalu tanpa disadari cinta sudah tumbuh. Kami begitu bahagia saat itu. Sampai ketika kakekmu mengetahui hubungan kami. ”

Air muka Ratih mendadak keruh.

**********

Senja diselimuti rinai-rinai gerimis. Di luar kafe angin dingin meniupkan kebekuan. Tapi tak lebih dingin dari hati yang sedang diamuk cemburu.

“Kamu suka padanya?” Lelaki tampan itu akhirnya bertanya. Gadis cantik di depannya terperanjat.

“Dio! Ini bukan tentang aku suka atau tidak padanya. Ini tentang kita!”

Dio diam menentang pandangan Ratih.

“Kamu kekasihku, Dio. Aku tak bisa membayangkan kelak bersanding di pelaminan dengan orang selain kamu. Aku ingin kita menikah lalu hidup bahagia sampai tua.”

Ratih menanti reaksi Dio. Masih belum ada tanggapan apapun dari lelaki berkacamata di depannya. Ratih melanjutkan ucapannya.

“Temui orang tuaku, Dio. Tolong yakinkan mereka, kamu akan selalu berusaha membahagiakan aku. Setiap orang tua pasti menginginkan lelaki terbaik untuk putri mereka. Demikian juga ayah ibuku.”

“Kamu mau aku dihina lagi seperti dulu?” Dio menahan geram mengingat betapa jatuh harga dirinya saat itu. Saat dia datang mencoba memenangkan hati orang tua kekasihnya, justru mereka dengan ringannya mengenalkan lelaki itu. Lelaki yang dijodohkan dengan Ratih. Lelaki tampan dan bermasa depan.

“Maafkan mereka, Dio.”

Dio mendengus. “Kamu suka padanya?”

Ratih terperangah. Mengapa pertanyaan itu diulangi lagi? Ratih merasa hatinya mulai terluka. Dia bangkit dari bangku cafe. Diraihnya tas yang tersampir. Sebelum beranjak keluar dia berkata pelan.

“Berjuanglah demi aku, Dio.”

Dio menatap punggung Ratih yang segera menghilang di balik pintu yang menutup.

***

“Lalu bagaimana, Bu? Apa kalian masih bertemu setelah itu?” Alya bertanya dengan tak sabar. Ratih tersenyum samar.

“Masih. Beberapa kali. Sebelum akhirnya kakekmu tahu dan marah besar.”

“Oh! Apa yang dilakukan kakek?”

Ratih memejamkan mata. Sebutir air mata menuruni pipinya yang mulai dirambati garis garis halus.

“Bu…aku minta maaf. Seharusnya aku tak mengorek luka lama Ibu.” Alya merasa bersalah. Diulurkannya sehelai tisu pada Ibunya. Ratih menerima lembaran putih itu, tapi dibiarkannya air mata menyusuri pipi.

***

“Kenapa kamu masih menemui lelaki itu, Ratih?” Suara keras ayahnya membuat Ratih tersentak. Dia tak berani menentang mata Ayahnya. Ratih menoleh ke arah Ibunya. Perempuan yang biasanya selalu membela dirinya sekarang hanya berdiam diri. Wajah cantik itu menunduk dalam-dalam.

“Kamu harus minta putus dari dia dan jangan pernah berhubungan lagi!” perintah ayahnya terdengar sangat tegas menembus dinding telinga Ratih.

“Tapi kenapa Pa? Karena Dio anak orang miskin? Dio pekerja keras, Pa! Dia mau berusaha apa saja. Dio akan jadi orang sukses!” Ratih mencoba mengajukan pembelaan.

“Halahh…sukses apanya? Mental tempe! Lihat, baru sekali dikerasin sudah ngambek. Mana katanya berani? Apa pernah dia datang ke sini lagi?”

Ratih mencoba menatap mata ayahnya dalam dalam. “Dio sakit hati, Pa. Dia merasa sangat tersinggung sebab Papa membanding-bandingkannya dengan Abdi.”

“Tempe! Begitu saja sudah ngambek. Lelaki macam itu tak pantas buatmu.” Ayah Ratih bersikeras. Dia melirik istrinya. Perempuan yang dilirik tetap diam. Huh, sama sekali tak membantu!

“Ma…” Ratih memanggil Ibunya, mengharapkan bantuan. Tapi kalimat yang didengarnya hanya menambah gusar hatinya.

“Kamu turuti saja Papamu. Orang tua selalu inginkan yang terbaik buat anaknya.” Wanita itu beranjak ke kamar diikuti oleh suaminya dan meninggalkan Ratih duduk sendirian di ruang tamu.

Ratih merasa batin dan tubuhnya penat. Diluruskan kedua kakinya dan diapun beranjak menuju kamarnya yang berhadapan dengan kamar orang tuanya. Di ambang pintu dia tertegun. Samar dia dengar suara isak tertahan. “Mama menangis?”

Ratih merasa dadanya berdebar demikian kencang. Dia memutuskan untuk mencuri dengar. Ditempelkannya perlahan telinganya ke daun pintu. Suara-suara di dalam kamar terdengar lebih jelas.

“Kesalahan masa mudamu membuat hubungan anak kita rusak, Mas!” Suara Mama Ratih terdengar di antara isaknya.

“Aku sudah minta maaf, Ma. Sejak dulu aku sudah minta maaf. Tapi kenapa kamu ungkit-ungkit lagi?” Suara Papa Ratih membantah.

“Aku suka anak itu. Dia baik dan sopan. Memang dia belum punya pekerjaan tetap, tapi aku percaya dia akan berusaha.”

“Bukan itu permasalahannya, Ma.” Terdengar desah napas berat milik Papa Ratih. Ratih merasakan dadanya berdegup kian kencang. Ada masalah apa sebenarnya?

“Masalahnya adalah bagaimana kalau Dio itu juga anakmu. Begitu kan Mas?” Meski suara Mama Ratih hanya berbisik, tapi di telinga Ratih kalimat itu terdengar bagai geledek. Dio mungkin anak Papa? Ya Tuhan!

Tanpa sengaja Ratih memegangi handle pintu untuk menopang kakinya yang mendadak goyah. Gerakannya itu menimbulkan suara berisik.

“Siapa itu?” Suara Papa Ratih membentak. Ratih berjingkat masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat. Di atas ranjang Ratih merenung dan terus merenung. Air mata sesekali hadir membasahi pipi putihnya. Jadi ada kemungkinan dia dan Dio bersaudara? Ya Tuhan!

**********

“Jadi Ibu minta putus setelah mencuri dengar pembicaraan Kakek dan Nenek?”

Ratih menggeleng. “Bukan Ibu, tapi Dio.”

“Karena Ibu ceritakan kekhawatiran Nenek?”

“Bukan. Ibu belum cerita tentang itu. Ibu berencana mencari tahu lebih dahulu. Yang Ibu ceritakan cuma tentang keinginan kakek. Tapi Dio rupanya sudah patah arang. Dia minta putus. Ibu terpaksa mengiyakan.”

Alya mendesah kesal. Kisah cinta lama ibunya sungguh rumit. Alya teringat kisah cintanya sendiri. Tapi ah, nanti saja dia pikirkan masalahnya.

“Ibu akhirnya tahu tentang Dio? Maksudku apa benar dia anaknya kakek?”

Ratih menatap langit. Menerawang jauh.

“Ibu nggak tahu. Sebenarnya Ibu tak pernah mencari tahu. Ibu tak sanggup menghadapi kenyataan seandainya itu benar. Nenekmu pernah menceritakan masa lalu Kakek. Jadi kemungkinan itu selalu ada.”

“Ahh….” Alya mendesah. Dia tak tahu harus merasa kesal atau sedih. “Yah, segalanya sudah terlambat untuk diperbaiki kan, Bu? Sudah puluhan tahun berlalu.”

Ratih mengangguk. “Sudah terlambat. Tapi Ibu senang mengetahui sekarang Dio sudah jadi orang sukses. Kamu tahu Orion Enterprise?”

Alya mengangguk. Itu nama event organizer terbesar di kota ini. Banyak acara besar berhasil ditangani oleh Orion Enterprise.

“Itu milik Dio yang pernah jadi pacar Ibu?” Alya terpana.

“Ya. Milik Ferdi Orion. Nama lengkap Dio adalah Ferdi Orion.”

Ferdi Orion! Fer-dio-rion! Mendadak Alya teringat sesuatu. Wajahnya memucat.

-bersambung-

Sambungan Cerita
-BAGIAN KEEMPAT
-BAGIAN KELIMA
-BAGIAN KEENAM
-BAGIAN KETUJUH

22 komentar pada “Cerfet #MFF : Gerimis Kala Senja”

  1. Aku masih suka banget cerita yang pertama bg. Cerita abang kebawa banget dari terusan cerita ke 2. Entah kenapa menurut aku, menurut aku lho ya, cerita kedua itu kayak buat alur sendiri.
    Ya memang sih yang buat orang yang beda dan pasti dengan intuisi yg beda juga. Tapi menurutku cerita kedua jadinya agak melenceng dari ide cerita pertama. *entah iya tu* *sok tau banget gw yak* hahahahaha.

    1. agak susah buatku kalo nggak melanjutkan cerita kedua. ujungn5a aja bilang : begini ceritanya…. | Kalo ceritaku mulaidari kisah lain, bakalan aneh. 🙂

      1. Iya sih, krn harus diambil dari kalimat akhir gitu ya?

        Padahal menurut aku, menurut aku lho ya, cerita pertama itu konfliknya ringan dan gak se-drama cerita ke dua. *eh, atau gw yang salah ekspektasi ya. Maap maap, lanjutkan bg :).

        Ceritanya tetap bagus kok. Tetep salut dengan pengembangan konfliknya. 🙂

        1. karena ceritanya ini estafet, mesti ada kesinambungan. memang sih bisa aja aku bikin lanjutannya di awal kayak gini : “Ayo Bu, cerita saja,” desak Alya. Ratih menggeleng. “Ah, nanti saja ya. Ibu berubah pikiran. ” | Terus aku cerita deh soal lain. Hehehe.

          1. Hahahaha. Lucu kalo kejadiannya kek gitu. :D.
            Aq nunggu cerita 4 dan 5 nya deh jadi gimana. Tapi klo udah gini, pasti jatohnya gak jauh dr cerita masa lalu dan buku diary. Semoga aja enggak :D.

            Entah kenapa cerita pertama itu aq bayanginnya kayak drama korea yang romance, dramatic dan sad ending.. :D. (pdhl itu maunya ane. Hehehehe)

Tinggalkan komentar