DOR!

prompt-134

DOR!
Satu letusan mengoyak sunyi di sebuah rumah besar. Langkah-langkah berderap menuju asal suara. Larry, jutawan tua itu tumbang terbelalak. Asap tipis di dahinya perlahan pudar, meninggalkan sebuah lubang berlumur darah.
“Ayah!” jerit Nancy yang pertama tiba.Tapi ia salah. Di depannya ada pemuda tampan yang gemetar memandangi korban.
“Robby?” Nancy histeris memandangi mayat dan Rob. Sesosok lelaki yang menyusul nyaris menubruk tubuh mungil yang mendadak muncul di ambang pintu sambil merapikan baju.

“Cin?”
“Don, ayah… ay…” Nancy ambruk. Don tak sempat menanyai adik iparnya. Ia kelabakan.

“Cindy, kemari!”
**
Badai masih perkasa. Listrik padam di rumah serupa istana. Empat orang membisu di ruang tamu berteman pelita. Mayat Larry dibiarkan hingga polisi tiba.
“Mereka pasti masih lama. Sementara pembunuh Ayah masih ada di sini.” Ada getar di suara Nancy, sudut matanya menuding Robby.
Yang dilirik berjengit. “Bukan aku! Ayah sudah mati waktu aku tiba.”
“Tapi itu pistolmu,” suara Don terdengar sebeku salju. “Bukan pistolku,”tukas Robby.
Gemetar jemari Robby memantik rokok. “Bisa saja kau pembunuhnya, Nan. Ayah benci kau karena menikahi Don.”
Nancy murka, bangkit menerjang. Cindy sigap menghadang. “Jangan berkelahi, kak!”
“Bukankah setiap kita punya pistol serupa? Ayah bilang untuk berjaga-jaga. Bahkan Cindy sang aktris juga punya. Ya, kan?” cibir Robby. Cindy tertunduk rikuh. “Kautahu aku benci pistol.”
Robby mengembuskan asap putih yang bergulung sejenak sebelum pudar disapu angin semilir dari kisi jendela.
“Atau kau yang menembak Ayah, Don? Kautahu, agar warisannya bisa dibagi. Supaya utang-utangmu terlunasi.” Rob mencondongkan tubuh ke arah Don. Menuding.
Don bangkit. “Pendusta! Kuhajar kau!”
Sebelum ia menerjang, kali ini Nancy yang mencoba menghalangi. “Sudah, hentikan!”
Nancy terlambat. Don telanjur menghantamkan tinju ke wajah Rob. Rob berteriak murka. Dua lelaki brewokan itu baku hantam. Cindy terdiam di sofa. Nancy histeris berusaha memisahkan.
DOR!
Jiwa Nancy ciut. Ada yang menembak! Di remang cahaya pelita dilihatnya Rob mendelik geram. Lalu perlahan Don rebah ke lantai. Nancy tercekat.
“DON!”  Ia menghambur.
“Sudah kubilang Nancy, bukan aku pembunuh Ayah! Lihat, pistolku masih ada padaku!” Rob meracau. Nancy meraung memeluk tubuh Don yang napasnya tinggal satu-satu.
“Bangsat kau, Ron! Setaaan!” Nancy menerjang membabi buta. Tangannya meraih pajangan kristal di meja. Ron mencoba berkelit tapi gagal. Kepalanya berdarah terhantam.
“Kau!”
“Apa?” tantang Nancy. “Mau menembakku juga? Ayo, tembak! Kalau aku mati, harta Ayah jatuh padamu. Buat menghidupi gundik-gundikmu, kan?”
“Kalau Cindy?”
Nancy mendengus, beringsut ke mayat suaminya. Tangannya menelusup di balik punggung Don.

“Kau lupa, Cindy itu anak pembantu yang dipelihara Ayah sejak kecil?” Ia tertawa meremehkan. “Dia penakut yang sok ingin jadi artis. Cih! Dia tidak berhak! Ya kan, Cin?”
Cindy tertunduk. Cacian Nancy melukai hatinya.
Rob melengos. Ketika pandangannya terarah kembali pada Nancy, dua lubang pistol menatapnya. “Kau harus menyusul Don,” sentaknya kejam.
DOR!
Don terbelalak.

 

DOR!
Nancy menjerit ngeri.
**
Pagi lahir mengusir sisa badai semalam.
Seorang polisi berusaha menenangkan perempuan muda yang tampak terguncang.
“Dia saksi mata baku bunuh semalam.”
Cindy berjalan pelan menuju ambulan. Perih di selangkangan terasa lagi. Tapi ketika usungan mayat-mayat melintas, senyum aneh hinggap di bibirnya. Matanya berpijar.
“Kirim salam untuk si tua terkutuk di neraka.”.

500 kata

Anak untuk Suamiku

ayah dan anak

sumber

Kira-kira sepuluh jam yang lalu sebuah nomor tak dikenal menghubungiku. Perhatianku sesaat teralih dari deretan angka di layar monitor. Kulirik ponsel yang bergetar di samping setumpuk berkas. Pada pagi sibuk begini biasanya ponsel kumatikan, tapi karena Armada, suamiku, berjanji akan menelepon, ponsel kusetel dalam mode getar. Getaran ponsel berhenti beberapa saat kemudian. Jika memang penting, orang itu pasti akan menghubungiku lagi.

Ponsel bergetar lagi; ada pesan masuk. Kutekan tombol save di papan ketik dan meraih ponsel.

Mbak Bulan, ya?

Begitu isi pesan dari nomor tak dikenal. Hmm. Benakku mereka-reka siapa pengirim pesan ini. Semenit berlalu tak menghasilkan tebakan apa pun. Kuketikkan ‘ya’ dan menekan tombol ‘send’. Belum sempat kuletakkan benda berwarna hitam mengilat ini, sebuah pesan kembali datang.

Ini Amanda. Bisa kita ketemu, Mbak?

Amanda!

Nama itu menyeret ingatanku kembali ke masa yang belum terlalu jauh. Hanya berselang setahun lalu. Waktu itu…

Lanjutkan membaca “Anak untuk Suamiku”

[Cerita Pendek] Di Ujung Segala Penghujung

di ujung segala penghujung

sumber

bagian pertama : Rembulan Malang

bagian kedua    : Malam Berselimut Api

Dinding-dinding penjara lembab dan kotor. Kecoa berlarian ke sana kemari. Seekor sedang merayapi kaki Banu, selir dari sultan terdahulu.

“Hii…”

Asgar di sel sebelahnya mengangkat kepala. “Bibi, kau baik-baik saja?”

Pertanyaannya disambut isakan. “Bibi tak sengaja, Asgar. Ketika Gosini menampar bibi, serta-merta bibi mendorongnya. Dia jatuh menghantam ujung meja.”

Asgar diam. Dia seharusnya menghibur bibinya. Tapi apa gunanya?

Gegas langkah kaki menyentakkan mereka.

“Jahanara!” Banu dan Asgar sigap mendekat.

“Bibi!” Pipi jelita basah air mata. Sengguknya membuat iba. “Maafkan aku. Semua jadi berantakan karena aku.”

“Beta, beta. Ini takdir Mahakuasa.” Banu mencoba bijaksana, meski hatinya menjeritkan luka. “Semoga Sultan mengampuni kita.”

“Sultan tak akan mengampuni kalian!” Suara berat dan kering seorang lelaki menyahut. Semua orang terkesiap, menyadari siapa yang datang.

Lanjutkan membaca “[Cerita Pendek] Di Ujung Segala Penghujung”

[Cerita Pendek] Arti Hidup Dalam Secangkir Kopi

life-is-like-a-cup

sumber

Life is like a cup of coffee.

Kalimat bernada filosofis itu aku temukan di sebuah warung kopi di tepi jalan kecil yang dirindangi dahan  pohon mangga. Ditulis dengan huruf besar-besar berwarna merah tua di atas kertas karton dan dipajang di bagian belakang meja racik. Di bawah tulisan itu, si penjual kopi menyiapkan minuman racikannya. Ada pula deretan kopi instan sachet bergantung rapi di dinding. Di sebelah kanan lelaki muda itu sebuah kompor terus menyala dengan api kecil, sementara di depannya terdapat penyaring bubuk kopi, dan gelas-gelas bersusun rapi.

“Pesan apa, Bang?” seorang remaja pria mendekat. Aku mengalihkan pandangan dari slogan di dinding dan kesibukan di bawahnya.

“Kopi. Tanpa gula.”

Remaja itu mengangguk lalu berlalu. Aku melangkah menuju meja di dekat jendela. Tak sampai semenit kemudian remaja berambut ikal itu telah kembali dengan sepiring kue. “Kopinya sebentar lagi, Bang.”

Aku mengangguk.

Mataku mengembara. Menjelajahi sudut-sudut warung kopi sederhana ini. Dindingnya masih tampak baik, meski warna hijaunya mulai pudar. Beberapa gambar artis tahun 90-an terpampang. Sebagian besar tak kukenali namanya. Meja dan kursi terlihat masih baru, mungkin belum setahun diganti. Meja-meja terisi dengan dua atau tiga lelaki setengah baya yang mengobrol akrab sambil menyesap secangkir kopi atau mengunyah kue.

Jadi seperti inilah tempat favorit Ayah.

Ah, Ayah.

Lanjutkan membaca “[Cerita Pendek] Arti Hidup Dalam Secangkir Kopi”

Dance With My Father

dance wit my father

sumber

Mengapa hanya ada gelap?

Dingin lantai marmer terasa menyengat kulit pipiku. Gulita menyekat pandangan. Aku mencoba berdiri dengan tertatih. Tangan kujulurkan ke depan, meraba-raba. Tapi tak ada sesuatu pun yang bisa kupegang.

Mengapa tempat ini seolah tak berbatas?

Kesedihan tiba-tiba memelukku erat hingga nyaris kehilangan napas. Aku ingin menangis, menjerit keras hingga seluruh dunia mendengar. Agar semua tahu, aku sedang bersedih. Tapi tak ada yang mendatangiku untuk memelukku dari belakang, mengusap rambutku dan berkata : “Tenanglah, Sayang. Semua akan baik-baik saja.”

Aku duduk menunduk memeluk kakiku. Rambut kubiarkan tergerai menyentuh lantai. Air mataku mulai kering.

“Tenanglah, Sayang. Semua akan baik-baik saja.”

Aku berbalik dan menengadah. Sesosok tubuh yang bermandikan cahaya tengah tersenyum padaku. Tangannya terjulur.

Lanjutkan membaca “Dance With My Father”