Ribut-ribut soal ‘buka warung siang hari’ yang selalu muncul tiap Ramadhan bikin saya teringat pengalaman puasa masa kecil dulu.
Lebih dari seperempat abad yang lalu (ya ampun! Tuanya kamu, Rig!) orangtua mulai melatih saya berpuasa. Waktu itu usia saya enam tahun dan baru kelas 1 SD. Berpuasa di Aceh relatif ‘gampang’. Suasana puasa sangat terasa. Tak ada warung makan yang buka siang hari, apalagi penjaja es. Para orang tua sering memuji anak-anak yang sedang berpuasa, kadang menghadiahi uang sekadarnya untuk buka puasa. Sesama teman pun, tidak berpuasa memberi rasa ‘malu’, sebab bakalan jadi ‘objek ejekan’. Daripada malu, saya kuat-kuatin puasanya. Kadang berat, sih. Namanya juga anak-anak, sesekali kalau bermain tak ingat situasi. Main lari-larian atau patok lele tentu menguras energi dan mengundang haus. Minta buka puasa sama orangtua? Paling disuruh tidur setelah sebelumnya diomeli panjang. “Lihat, tuh si Agam. Dia tahan puasa. Padahal dia sama umurnya dengan kamu. Bla bla bla.” Uh, sebal!
Kalau iman saya yang waktu itu masih secuil sedang goyah, sehabis main saya ‘mampir’ ke mushalla, pura-pura wudhu dan saat tak ada yang lihat, seteguk dua air pun lewat di tenggorokan. Satu kebodohan yang akan saya sesali sebab sakit perut datang setelahnya. Apalagi bila ketahuan orangtua, minimal satu jeweran mampir di telinga. Sudah batal puasa, sakit perut, eh kena jewer pula.
Sedikit beda ketika pada suatu Ramadhan saya berlibur di rumah saudara di kota M. Nuansa Ramadhan di kota terbesar di Sumatera Utara ini harus diakui tak sepekat daerah-daerah di Aceh. Banyak warung buka dengan bebasnya. Orang-orang makan-minum-merokok dengan santainya. Bagi anak sekecil saya yang imannya baru secuil, godaan seperti itu luar biasa berat. Dan tak menunggu lama, hari ujian tiba. Siang itu matahari begitu gagah perkasa. Meski hanya bermain sekadarnya, sudah cukup membuat saya ‘terkapar’. Iman saya yang baru secuil itu harus menghadapi ‘kenyataan pahit’. Di warung depan sebagian orang dewasa tengah makan dengan santai. Satu dua teman bermain yang tak puasa dengan langkah mantap mendatangi warung es cendol dan memesan segelas es yang aduhai nikmatnya. Rasanya saya ingiiiiin sekali mencicipi es cendol itu walau cuma seteguk .
Tapi mana bisa!
Untuk ‘menghadap’ orangtua dan meminta izin membatalkan puasa adalah hal yang tak mungkin. Sementara haus sudah mencekik leher. Jadilah siang itu saya uring-uringan. Disuruh tidur saja, saya menolak. Haus. Apalagi kalau disuruh yang lain? Yang ada saya mengomel panjang pendek. Sesekali ‘mencatut’ nama teman yang dibolehkan orangtuanya untuk buka puasa. Tentu sambil tak lupa berkali-kali melirik warung es cendol. Sekadar memastikan es nikmat itu masih tersedia. Akhirnya orangtua ‘mengalah’ dan mengizinkan saya buka puasa. Jadilah hari itu saya kalah dengan segelas es cendol yang disediakan warung. Iman saya yang baru secuil itu tersungkur ke tanah.
Small things is back!! yay!!! Jangan vakum lama lama nulis lah bang, karya abang ini udah kayak daily dose yang harus saya cukupi haha. dibikin monthly dose juga gapapa, ehe ehe
Yayyy! 🙂
Semoga terus dapat inspirasi buat nulis, ya, Fan. Both of us. 😉