Beberapa tahun silam ketika masih bertugas di sebuah kota yang ‘baru jadi’, perjalanan pulang pergi menjadi hal yang rutin nyaris setiap pekan. Jarak Subulussalam (nama kota tempat bekerja) dengan Medan (kota persinggahan sebelum menuju kota asal) sekitar 6-7 jam perjalanan. Jarak tempuh sebenarnya ‘hanya’ dua ratusan kilometer, tapi dengan kondisi jalan yang…hmm sebentar, ada lagu yang tepat untuk menggambarkannya.
Lagu yang ‘sesuai’ untuk menjelaskan rute yang mesti ditempuh setiap pulang-pergi adalah lagu tema film kartun Ninja Hattori. Masih ingat liriknya? Yuk, nyanyi.
Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke muara. Bersama teman, bertualang!
Nah, kurang lebih begitu. Bahkan ketika melewati daerah perbukitan, pilihan pemandangan tinggal dua : kiri jurang kanan tebing. Awalnya deg-deg serr saat melewati rute yang ini. Tapi lama-lama biasa saja.
Sebenarnya ini mau ceritain tentang apa sih?
Oke. Sebenarnya mau cerita soal angkutan yang dipakai. Ada dua moda transportasi yang biasa aku pakai : taksi (gelap) atau Himpak (nama angkutan). Angkutan taksi biasanya menggunakan (terpaksa sebut merek, deh) Toyota Avanza atau Daihatsu Xenia. Nyaman sih, tapi buatku masih kurang lega. Kaki tidak bisa diluruskan, dan jika terlalu jauh merebahkan kursi, pasti deh penumpang di belakang protes. Tapi yang jelas, pelayanan supir relatif baik. Supir mengemudi hati-hati, AC dinyalakan dengan suhu sejuk, dan lagu-lagu lembut diputar sebagai pengantar tidur. Ya, karena waktu perjalanan yang disarankan sih memang perjalanan malam. Sekalian istirahat.
Moda transportasi berikut adalah Himpak. Ini sebenarnya singkatan dari Himpunan Masyarakat PakPak. Nama sebuah suku di Sumatera Utara. Moda ini punya dua ‘kelas’ yaitu Executive dan Royal. Executive sih termasuk kelas ‘bawah’. Sempit dan kurang nyaman. Satu mobil ini dijejali hingga 12 bangku. Beda dengan kelas Royal, hanya ada 9 bangku. Padahal keduanya memiliki panjang yang sama.
Aku lebih memilih naik Royal yang bertarif limabelas ribu lebih mahal ketimbang tarif Executive. Kaki bisa diluruskan hingga benar-benar lurus. Dan kursi yang direbahkan pun jarang mengundang protes penumpang belakang. Ya asal jangan benar-benar datar, bakalan digaplok.
Himpak tidak menggunakan AC. Sebenarnya untuk perjalanan malam, AC sama sekali tak diperlukan. Apalagi ketika memasuki wilayah dingin seperti Berastagi. Semilir angin yang menelusup dari celah jendela cukup bikin badan menggigil.
Nah, yang jadi persoalan adalah para supir ini jarang yang benar-benar memikirkan penumpang. Subjektif memang. Pastilah mereka ingin penumpang semua selamat, karena itu juga berarti dia sendiri selamat. Tapi pelayanannya kadang mengesalkan. Mobil Himpak rata-rata dipasangi soundsystem yang lumayan jederr. Jika baru berangkat malam sekitar pukul sembilan, masih boleh lah memutar lagu-lagu house music yang entah apa iramanya. Yang kedengaran cuma jedag-jedug aja. Tapi kalau sudah memasuki waktunya tidur, sekitar jam 11 malam, ada supir yang masih saja menyetel perangkatnya dengan volume ajib.
Tak jarang penumpang harus berkali-kali menegur supir agar menyesuaikan volume. Tapi jawaban standar yang sering diberikan adalah :
“Biar nggak ngantuk awak, Bang.”
Dalam hati aku ngedumel. “Bang, pakai headset deh. Setel volume maksimal sampai budek pun boleh. Abang aja lah yang nggak ngantuk, kami mau tidur.
Tak cuma Himpak, beberapa supir bis pun masih kekurangan empati terhadap penumpangnya. Kadang hanya memutar musik dengan volume keras, kadang sekalian menyetel film. Seperti beberapa minggu lalu.
Kala itu jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Aku sengaja memilih perjalanan malam dengan tujuan ketika sampai di tempat, sudah sempat tidur. Agar badan lebih segar. Tapi apa yang terjadi? Di dalam bis ternyata sedang diputar sebuah film action yang dibintangi oleh Sylvester Stallone dkk. Adegan tembak-tembakan, teriakan, ledakan bom, deru kendaraan, bercampur baur. Aku gelisah di kursi. Mau langsung menegur, beberapa penumpang terlihat sedang asyik menonton. Ya, sudah. Sepertinya film sudah hampir selesai. Sudah menjelang klimaks.
Ah, benarlah dugaanku. Limabelas menit kemudian film berakhir. Aku menghela napas lega, membetulkan letak selimut, dan bersiap tidur. Tapi apa yang terjadi? Si supir (atau kernet) malah menyetel lagu house dangdut! Tengah malam! Dengan volume keras! Aku naik darah! *oke, terlihat mulai lebay*
Kusingkirkan selimut, meminta izin lewat pada seorang penumpang lain di sebelahku dan dengan langkah tergesa menuju supir.
“Bang, kecilkan suara tv-nya. Udah malam, gini.”
Ya, kekesalan membuatku melupakan sopan-santun. Aku tidak lagi meminta. Aku memerintah. Mungkin menyadari kesalahannya atau memang mengetahui kekesalanku, supir langsung mematikan video musik yang dia putar. Aku menghela napas dan berlalu kembali ke kursi. Membetulkan letak selimut, mencari posisi tidur yang pas, dan berharap kantuk kembali datang.
Sepuluh menit kemudian.
Video musik house dangdut itu kembali di putar! Aduh, tobat!
Hahahaha…jadi ingat dulu.. 😀
Dulu yang mana nih, Dika? 😉
Duluuuuuuuuu kaliii…pas gak sengaja pernah terdampar di Subulussalam
Ooohh… kisah pahit di himpak juga? Kalo Dika ngalamin apa? Digrepe-grepe sama supir, ya?
*kalem.. :p
Coba sandalnya dilempar, Bang.
Aduh, sayang sendalnya. :p