[Small Things] Belum Lima Menit

simple things - belum lima menit

Standar kebersihan tiap orang memang berbeda-beda, bergantung pada kebiasaan pribadi, keadaan, dan banyak faktor lain. Sekali waktu saya pernah lihat seorang petugas kebersihan yang menyantap sebungkus nasi tak jauh dari bak sampah. Meski bagi beberapa orang, sekadar melintasi bak sampah saja sudah menimbulkan rasa jijik, buat petugas kebersihan itu hal biasa. Barangkali dia sedang istirahat dan tak boleh jauh-jauh dari ‘wilayah kerjanya’.  Atau penjaga toilet terminal yang santai saja mengunyah gorengan di depan ‘daerah kekuasaannya’.
Sekali waktu saya menyaksikan seorang teman yang rela membuang seporsi makanan yang dipesannya ‘cuma’ karena ada sehelai rambut nyempil di sebongkah nasi. Saya hanya bisa miris melihat bongkahan nasi, rendang yang belum dicuil, serta perintilan lainnya masuk ke tong sampah. Duh, kalau sama saya sih, paling cuma rambutnya aja yang saya buang, selebihnya dimakan. Hahaha.
Lain hari saat menemani seorang teman pergi ke suatu tempat, dia minta saya mampir ke lapak penjual air tebu. Kebetulan siang itu matahari sedang gagah-gagahnya. Dia turun menghampiri lapak sementara saya menunggu di motor. Belum semenit dia sudah kembali.
“Lho, kenapa nggak jadi?”
“Males.”
“Maksudnya?”
“Yang jual sedang merokok. Dan pas mau siapin air tebunya, dia nggak cuci tangan. Kita cari tempat lain aja.”
Saya ber-oh- sejenak lalu menyalakan motor. Standarnya lebih tinggi lagi, pikir saya.
Kalau saya sendiri sepertinya masih plin-plan dalam menerapkan standar kebersihan semacam ini. Ketika akan wudhu di musala atau mesjid, saya lebih memilih wudhu dengan air kran ketimbang air dalam bak. Banyak mesjid menyediakan satu bak besar air wudhu yang (kadang-kadang) sekaligus dialiri air. Jamaah yang akan salat berwudhu dengan cara menciduk air langsung tanpa gayung. Ketika membasuh wajah, air bekas basuhan kembali jatuh ke dalam bak. Saat mengusap tangan, air bekas usapan sebagian kembali lagi ke dalam bak. Jika hanya satu dua orang yang seperti itu, mungkin tak masalah (bagi saya). Tapi jika ada puluhan hingga ratusan orang?
Sekali lagi, memang saya masih plin-plan dalam menerapkan standar kebersihan semacam ini. Buktinya ketika makan di sebuah restoran siap saji, sepotong ayam yang saya pesan terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai. Sigap saya mengambil ayam goreng itu, mengelupas lalu membuang sebagian kulit garingnya yang (menurut perkiraan saya) terkena lantai, dan dengan santai kembali mengunyah daging lezat itu. Ah, belum lima menit!
Duh!

8 komentar pada “[Small Things] Belum Lima Menit”

    1. hehe, kalau makanan kering kan bisa dilihat tingkat ‘selamat’-nya. kalo basah ya mesti buang aja.

      Toss, Jiah. Sama plinplan. Hehehe

  1. Sebenarnya standar kebersihan itu mestinya jelas, misal bangkai itu kotor dan debu itu kotor dan rokok itu kotor, hal2 semacam itu. Sebab di Indonesia kulihat kalo di pasar, membuang sampah itu wajar krn mmg dianggap pasar mah wajar kalau kotor, beda kalo lagi di mall. Ttg mindset kotor bersih, selama tidak mengganggu seseorang tsb (misal rela nahan pipis krn menurutnya air di wc rada bauk), itu mmg sampai kapanpun akan beda sih. Yg jelas, ga konsisten ttg itu, menurutku masih ‘sehat’ sih. 😁

  2. Sama Ka aku juga suka gitu kalau ada makanan jatuh “belum lima menit” kecuali kalau jatuhnya ke tanah atau pasir gak diambil lagi.
    Untuk sehelai rambut menurutku terlalu berlebihan untuk dibuang makanannya. Beda kalau dimakanannya ada gigi orang, saya pasti ga mau makan.

    1. hehehe, sama kita kalo soal makanan jatuh. kalo ‘cuma’ di lantai yang -menurutku- cukup bersih, ya nggak dibuang semua.
      kalo tentang rambut ‘nyempil’, aku juga sama. masak sih dibuang semua? tapi yah, duit-duit dia. 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s