Bayi lelaki itu merangkak mendekatiku. Dia berhenti di beberapa langkah dari tempatku berdiri. Pandangan kami beradu. Kurasakan kedua matanya seperti sebilah pedang yang mengoyak-ngoyak pikiranku dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah kulakukan.
Lalu entah karena apa, bayi manis itu menangis. Tangis paling memilukan yang pernah kudengar. Perlahan airmata menetesi pipi gembilnya. Tapi cairan itu tidak berwarna bening melainkan merah. Bayi tampan itu menangis darah! Aku tercekat, tenggorokanku kesat.
Aku terbangun.
Terengah-engah seolah telah berlari berkilometer jauhnya, keringat bercucuran di kening. Kulirik kipas angin kecil di kamar kosku masih berputar pelan. Kuraih gelas berisi air dingin di meja kecil, meneguknya hingga tandas. Tak lama kemudian kudengar azan berkumandang.
***
Setelah menerobos pintu depan klinik, pintu kamar praktik yang terletak di bagian belakang bangunan kubuka paksa. Seorang gadis menjerit kaget. Meski sempat kaget, Rina segera menguasai dirinya. Dia memandangku dengan tatapan tak suka.
“Dimas! Ngapain ke mari?” hardiknya.
Aku mendekat, tapi gadis itu berteriak lagi. Rina memberi isyarat ke toilet dan perempuan muda itu menurut.
“Tolong, jangan lakukan lagi.” pintaku memelas. Rina tersenyum mengejek.
“Kenapa? Takut?” Rina tertawa kecil.
Kutelan ludah. “Itu berdosa, Rina!”
Rina terbahak-bahak. “Kau,” telunjuknya menuding dadaku,” lelaki muda yang gagah takut dengan hal beginian?”
Aku terdiam.
“Jangan-jangan kau yang melakukannya ya?” tuduhnya setengah bercanda. Aku terperanjat.
“Aku tak kenal dia,” pandanganku terarah ke kamar mandi.
“Ya sudah, yang penting dia bersedia bayar mahal. Baginya, kehormatan keluarga lebih penting.”
Aku hendak berbicara lagi kalau telunjuk Rina tak keburu menutup bibirku. “Lagian semua ini demi kita, kan, Sayang? Buat biaya menikah.”
Rina tersenyum manis dan berbalik. Setengah mengusir dia mendorongku ke luar kamar. Dari ambang pintu bisa kudengar dia membujuk perempuan tadi untuk melanjutkan proses aborsi.
Aku jatuh merosot di daun pintu. Sebagai lelaki aku merasa gagal. Terbayang kembali di benak, wajah sedih bayi mungil dalam mimpi semalam.
299 kata
Lebih suka ilustrasi yang ini sih, meski agak terburu-buru sepertinya. :D. Atau aku yg terburu-buru bacanya ya :D. — kemari bang, bukan ke mari 🙂
hehe, iya, jatah cuma 300 kata, tapi banyak yang mau diceritain.
iya, kemari bukan ke mari. thanks, yaaaa 😉
bagus mas.
makasih, La…
Hmm… Apa, ya? Entahlah.
Oya, kemari bukan ke mari, Bang. Soalnya, kan, enggak ada di mari.
siiippp… diedit. 🙂 | Thanks yaa 🙂
Wihhh makanya jangan melakukan aborsi..
Bagus Mas
makasih, Ajen.. 🙂
Mimpi yg mengerikan.
Intinya jangan pernah aborsi :,(
bener! padahal tokoh Dimas di sini nggak ada hubungan langsung dengan gadis yang mau aborsi. 🙂
Eh.. kok foto2nyaa para komentator gede2 banget sekarang? *salah fokus asli nih aku..padahal tadi mo bilang FF mu keren spt biasa..
gede yah? pengaturan dari tema wordpress nih. 🙂 | Eh iya, makasih pujiannya, Ade. 🙂
iiih serem..ngeriii…berdarah-darah…
kan cuma mimpi, syifa.. 🙂
haha tetep aja ngeriiii
hehehe… maaf deh.. 🙂
waaaaaaaaaa.. so sad… 😦
hiks… iya… 😦
demi menikah semua dihalalkan..
iya, nurani tergadaikan…. 😦
Wow… kok tega ya ngelakuin praktek ngaborsi gitu.. padahal kan dia wanita 😦
demi uang, nurani tertutupi.
😦
😦
Kehormatan keluarga baru dijadikan alasan kalo udh begini,hey yg dilakukan shingga jadi hamil g bkin malu keluarga?!*sewot*
bikin malu! *ikutan sewot
Oh, god.
ohhh… 😦
waaaaa (y) (y)
😦
hiks…. aborsi lagi.
😦