Cerfet #MFF : Labirin Rasa

foto : mobavatar.com
foto : mobavatar.com

bagian ke tiga belas

CERITA SEBELUMNYA

SATU | DUA | TIGA | EMPAT | LIMA | ENAM | TUJUH | DELAPAN | SEMBILAN | SEPULUH | SEBELAS | DUA BELAS

Dio menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Meski pikirannya sedang kalut, dia tak ingin menambah masalah dengan mengebut. Jalanan di depannya tampak senyap, hanya ada beberapa mobil yang silih berganti mendahului mobilnya. Dio mengusap wajahnya yang berkeringat meski di luar hujan dan AC mobil telah dinyalakan. Urusan cinta ini sungguh pelik. Dio menghela napas panjang.

Dio seperti tersadar saat menyadari bahwa mobilnya berhenti di depan sebuah rumah berhalaman luas yang ditumbuhi beberapa pohon buah di sisi kiri dan kanannya. Rumah itu memiliki teras lebar yang diisi dengan satu set kursi rotan, serta sebuah kursi malas. Rumah yang dulu menghadiahinya banyak kenangan manis, juga pahit. Rumah milik Malinda, ibu Ratih.

“Ah…” keluh Dio. “Mengapa aku bisa sampai ke sini?”

Dio kemudian teringat bahwa sebelum meninggalkan rumah Ratih dia sudah bertekad akan menemui Malinda. Wanita tua itu harus membantunya menyelesaikan masalah ini. Tentu pikiran bawah sadarnya yang menuntun dia menyetir hingga ke mari.

Dio tersenyum kecut. “Tentu saja bukan sekarang, bodoh!” rutuknya pada diri sendiri. “Apa kata orang jika ada yang bertamu nyaris tengah malam begini? Malinda membenciku. Bencinya akan bertambah jika tidur nyenyaknya kuganggu.”

Dio mengganti persneling dan menjalankan mobil. Sedan mulus itu melaju perlahan membelah tirai hujan.

***

“Permisi, Pak. Ada tamu,” suara Maya sekretaris Dio terdengar melalui interkom. Dio mengerutkan keningnya.

“Bukannya saya sudah bilang untuk siang ini saya tidak mau diganggu, May?” Dio mengingatkan.

Suara di seberang terdengar gugup. “Tapi, tamunya memaksa, Pak.”

Dio mendengus kesal. Apa-apaan ini? Tamu mana yang berani bertingkah tidak sopan di kantornya? Semula Dio hendak memerintahkan sekretarisnya untuk mengusir tamu kurang ajar itu tapi kemudian benaknya memikirkan hal lain. Dalam bisnis hiburan ada saja orang-orang tertentu yang bertingkah laku seenaknya. Artis yang sedang naik daun, produser yang sedang untung besar, atau pihak sponsor yang merasa memiliki kekuasaan untuk memerintah orang lain seenaknya. Dio menarik napas panjang dan menenangkan diri.

“Pak?” suara gelisah sekretarisnya terdengar lagi.

“Siapa nama tamu itu, May?” Dio bertanya pelan.

Suara yang menjawab bukan lagi suara Maya, tapi sebuah suara yang pernah amat dikenal oleh Dio. Suara yang pernah begitu menyakiti hatinya. Suara…

“Dio, aku mau bicara!”

Malinda!

***

Puluhan tahun telah berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, tapi Dio masih tetap merasa ada getaran aneh setiap berhadapan dengan Malinda. Wanita berusia menjelang tujuh puluh tahun itu masih tampak anggun. Perempuan tua itu memakai baju terusan berwarna biru dan celana panjang hitam. Rambutnya yang sebahu disisir rapi. Senyum percaya diri menghiasi wajahnya yang tanpa riasan. Dio menelan ludah. Bahkan setelah dia berusia setua ini, kehadiran Malinda tetap membuatnya merasa terintimidasi.

“Ibu, apa kabar?” Dio berbasa-basi. Malinda mengangguk kecil. “Aku baik, Ferdi.” Kinansih selalu memanggil Dio dengan nama depannya.

Awal percakapan mereka terhenti saat sekretaris Dio masuk dengan menating nampan berisi dua gelas teh mint dan dua porsi kue.

“Silakan, Pak, Ibu,” Maya berbasa-basi. Malinda mengangguk sopan. Dio memberi isyarat, dan Maya segera berlalu.

“Silakan diminum, Bu,” tawar Dio.

“Aku kemari bukan untuk minum,” getas suara Malinda menyentakkan Dio. “Aku kemari memintamu untuk menjauhi Ratih, juga Alya,” sambungnya.

“Apa maksud Ibu bicara begitu? Ratih dan aku sama-sama sudah dewasa. Kami berhak menentukan apa yang harus dan apa yang kami ingin lakukan. Dan Ibu tidak akan bisa menghentikan kami,” Dio mengeraskan niat. Malinda bukan orang yang suka berbasa-basi.

“Aku mungkin tak bisa menghalangi kalian,” Malinda tersenyum yakin. “tapi Layla dan Rania pasti bisa. Kau masih kenal mereka kan?” Malinda menatap Dio dengan senyum kemenangan.

“Atau perlu kusegarkan ingatanmu tentang istri dan anakmu itu?” tukas Malinda pedas.

Dio membeku.

10 komentar pada “Cerfet #MFF : Labirin Rasa”

  1. Mmm… sebentar ada yg ilang dikit Bang..

    Di ceritaku, Dio sedang di mobil bareng supirnya Pak Mitra.
    Trus itu di awal ceritanya Bang Riga, aku nangkepnya, Dio nyetir sendiri ke rumah Malinda. Itu dalam satu malam itu, apa lain malam?

    *kroscek catetan*

    1. pada malam yang sama. bedanya, pak mitra ikut dio pada saat pertama mengantar ratih pulang. ketika ratih mendapat pesan dari alya, ratih menghubungi dio yang kemudian datang sendirian. 🙂

Tinggalkan komentar