[Cerita Hati] Cerita si Pengajar Les

pengajar les

sumber

Ganteng-ganteng begini (uups, dilarang protes!) saya dulunya adalah seorang pengajar juga lho. Jangan bayangkan yang saya lakukan adalah berdiri di depan kelas, menulis soal di papan tulis, dan menerangkan pelajaran ya. Yang saya lakukan 15 tahun lalu (saya bahkan masih ingat persis hari dan tanggalnya : Jumat, 15 Agustus 1998) adalah duduk di meja panjang, menanti murid yang datang kapan saja mereka suka, menyuruh mereka mengerjakan pe-er dari sekolah, serta menjawab pertanyaan yang mereka ajukan. Ya, saya menjadi pengajar di sebuah tempat les yang berlokasi di sebuah ruko kayu sederhana berlantai dua. Dengan gaji yang juga amat ‘sederhana’. Hahahaha.

“Karir” mengajar saya dimulai dengan mengawasi murid-murid kelas lima. Anak-anak kelas lima umumnya berusia antara 10 – 11 tahun. Usia di mana mereka lebih berani menyatakan pendapat, bertanya atau melakukan sesuatu. Sering sekali saya alami saat memberi mereka tugas – yang diambil dari buku pelajaran atau soal yang saya buat sendiri- mereka menyatakan keberatan dengan berbagai macam alasan.

“Bang, yang ini udah dikerjain di sekolah.”

“Yang ini terlalu mudah.”

“Bang, jangan banyak-banyak ya. Jam lima harus masuk les di sekolah.”

“Bang, capek.”

“Bang, si Anu gangguin terus!”

“Bang kok hari ini panas sekali ya?”

Lho?

Dan sekian banyak lagi jawaban yang harus saya dengarkan. Awalnya terasa sangat melelahkan buat saya menghadapi hingga 40 anak dalam satu ‘kelas’. 40 anak dengan 40 macam karakter. Saya harus bisa menguasai mereka semua tanpa berkesan seperti pemaksa, tukang perintah, atau bahkan orang yang menakutkan. Setiap anak memiliki karakter uniknya masing-masing. Ada anak yang sangat mudah diarahkan, gampang menerima penjelasan dan tenang. Ada anak yang sangat aktif, tak bisa diam, bahkan senang mengganggu temannya. Ada pula yang sangat ‘haus perhatian’. Sebentar-sebentar bertanya. Jika tak diperhatikan, dia akan mogok mengerjakan tugas. Ada pula anak yang harus dipuji terlebih dahulu, baru dia mau belajar. Sungguh berwarna! Dan lama kelamaan saya cukup terbiasa menghadapinya. 

Tantangan lain yang harus dihadapi para pengajar adalah tuntutan orang tua. Beberapa orang tua secara rutin datang ke tempat les untuk bertanya ini-itu pada para pengajar. Kadang mereka mengeluh jika nilai ulangan anaknya jelek, atau jawaban pe-er yang diberitahukan pengajar salah. Tapi yang menyenangkan adalah beberapa di antara mereka bersikap cukup sportif. Ketika nilai anak mereka turun, mereka akan mengeluhkan hal itu pada pemilik tempat les. Dan saat nilai anak mereka naik atau mendapat ranking di kelas, mereka tak segan memuji dan mengucapkan terimakasih pada pengajar, bahkan memberi hadiah! 

***********

Pengalaman mengajar saya bertambah ketika pemilik les memutuskan untuk membuka kelas pagi khusus untuk anak TK, kelas 1 dan 2 SD. Ketika diminta mengajar pagi, yang ada di dalam pikiran saya adalah : “Ngajar anak TK? Waduh! Repot nih!”

Dan memang benar.

Ketika mengajar di kelas lima, saya bisa sedikit memaksa anak yang malas-malasan mengerjakan tugas. Kadang saya menjentik telinga atau mencubit paha mereka. Setelah itu biasanya mereka akan menurut. Tapi ketika menghadapi bocah-bocah kecil berusia 5-6 tahun rasanya saya perlu pendekatan berbeda. Kemampuan membujuk saya yang mesti ditingkatkan. Hahahaha.

Tapi serius nih, secara pelajaran memang tak ada masalah. Saya hanya perlu menuliskan huruf, menggambar benda, atau hitungan matematika sederhana. Tapi menanamkan pengertian di benak bocah-bocah imut itu sungguh tak mudah. Perlu usaha keras berkali-kali. Dan ketika mereka berhasil mengerti, rasanya sungguh menyenangkan. 

Tapi ada lagi satu masalah.

Suatu pagi seorang bocah perempuan mogok mengerjakan tugas. Saya sudah berusaha membujuknya. Dia menolak. Saya bahkan menawarkan untuk ikut memegang pensilnya dan menulis bersama. Tetap saja dia tak mau.

“Cici kenapa nggak mau nulis?”

Si Imut yang duduk menunduk diam saja.

“Lapar?”

Sebuah gelengan.

“Capek?”

Gelengan lagi.

“Jadi?”

Diam.

Semenit lamanya bocah perempuan itu tak menjawab. Sembari mengawasi anak lain menulis, saya perhatikan dia lebih saksama. Gestur tubuhnya menunjukkan kalau dia sedang ‘menahan sesuatu’. Kakinya dirapatkan.
Astaga! Semoga bukan ‘yang itu’!

“Mau pup.” Akhirnya bibir mungil itu bersuara. Ya ampun! Saya melirik ke belakang, hendak minta bantuan pada dua orang pengajar perempuan di kelas lain. Tapi keduanya tampak sedang sibuk dengan murid masing-masing. Pandangan saya kembali pada Cici. Wajahnya memelas. Saya menghela napas. Apa boleh buat.
Sekembali dari kamar mandi, saya lihat dua teman senyum-senyum berdua. Rupanya tadi mereka hanya pura-pura sibuk. Ugh! Saya dikerjain! 😀

***********

Tiga tahun empat bulan saya menjalani hari-hari sebagai seorang pengajar les. Ketika pada awal Januari 2002 kesempatan untuk menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil menghampiri, awalnya saya tak punya keraguan sama sekali. Saya harus mencoba. Mengubah nasib menjadi lebih baik. Saya dengan semangat mengikuti setiap tahapan yang diperlukan. Tapi setelah semua itu terlewati, saya mulai berpikir betapa saya akan merindukan hari-hari seperti ini. Mendengarkan celoteh anak-anak, kenakalan-kenakalan beberapa anak, melihat wajah mereka yang ceria ketika berhasil mengerjakan sebuah soal yang sulit, wajah mereka ketika sedang berpikir keras, bahkan wajah bocah kecil Cici yang sedang menahan pup! Hahahaha.

11 tahun sudah berlalu, dan saya masih merasa rindu. 

“Tulisan ini disertakan dalam Giveaway si Sulung”

34 komentar pada “[Cerita Hati] Cerita si Pengajar Les”

  1. Ahahaha….seru banget pengalamannya 😀 sekarang di lhoksumawe ya pak? wihh….mantep itu buka tempat les atau sanggar belajar disana 🙂 Sukses dan salam kenal ya.

  2. jadi ingat pas dulu kasih les privat. anaknya malah bawa PR… minta dikerjain PRnya ma saya…
    dan saya yang masih SMP, tinggalin aja itu anak. 😀

    1. sudah pernah, Rin. di kampung juga ponakan bocah-ku banyak. tapi karena udah pengalaman, jadi gampang lah. 😀

                1. oooh…bukan, dia lebih senang ngitungin duit (yang ditulis di kertas laporan) ketimbang nulis cerita. hehehe.

  3. Hahaahahaha…seru kan bang pengalaman mengajar. Masih ingat sekali dulu waktu ngajar orang tua-orang tua. Beeeuh..lebih susah lagi. 😀

  4. hahahahahahahahahaha kocak Bang..btw tahun 2008 saya masih jelas 2 SD lihhh 😛 seharusnya panghil Om Nih. kabur ah

    1. ehhh… tahun 2008, Ajen masih kelas 2 SD? Berarti 5 tahun kemudian (2013) masih kelas 2 SMP dong? 😉
      hehehe.

    2. dan lagi…saat memulai ‘karir’ sebagai pengajar les, umurku baru 17 tahun kok. Masih muda dan kinyis-kinyis. #halah 😀

      1. preettt…. jijay bacanya “umurku baru 17 tahun kok. Masih muda dan kinyis-kinyis’ memang msh muda sih tapi gk perlu kata kinyis2 tuh… byanginnya gk tahan….heheheheheh

  5. Walau sdh berpfesi sebagai pegawai negeri, mengajar di tempat les kan bisa dilanjutkan, Pak…Habis pulang kantor misalnya 🙂

    1. di tempat kerja sekarang (lhokseumawe) belum ketemu tempat les buat anak-anak SD, Evi. Dan lagi rasanya kalo sepulang kantor juga nggak sempat. Jadwal les anak-anak kan biasanya cuma sampai sore/sebelum maghrib.
      ntar deh,…nge-lesin anak sendiri. (kalo udah punya). :))

    1. belum pernah, Nella. Nggak tahu juga gimana wajahnya sekarang. Tapi kalo wajah kecilnya pas nahan pup….aku masih ingat. Hahahaha.

      iya, semoga menang. Makasiiih.. 🙂

Tinggalkan komentar