Pegang tanganku, Ayah!
***
Aku tengadah. Mataku beradu dengan senyum Ayah. Air mataku terbit.
“Eh, jagoan kok menangis?” Suara bariton menyergap pendengaran. Menelusupi batin.
“Ryo takut,” isakku.
Ayah merentangkan lengan, merengkuhku dalam-dalam. Seketika hangat membungkus tubuh. “Kan ada Ayah di sini.”
Ya, seharusnya aku tak takut. Ayah selalu di dekatku. Tapi..
“Ryo mimpi!” Tercetus juga musabab resah.
Ayah menatapku lekat. “Mimpi apa?”
Dengan kosakata terbatas, kucoba menjelaskan. Aku hanya tahu dalam mimpi Ayah pergi meninggalkanku. Persis di tepi pantai ini. Waktu itu ada ombak besar bergulung. Lidah ombak memagut Ayah, membungkus sosok kokoh itu dalam buih. Lalu menelannya.
“Bukan salahmu, Anakku,” bisik Ayah lembut. Hangat napasnya menyapa gendang telinga. “Ayah selalu memaafkanmu.”
Pandangan mata kami beradu. Mata itu tersenyum, mataku terbawa senyumnya.
“Ayo, kita jalan-jalan!”
Aku melonjak girang. Kami berjalan bersisian. Tangan Ayah menggenggam tanganku. Tanganku menenteng boneka robot dari plastik.
“Ayah! Robo jatuh!” Kulepaskan genggaman Ayah dan bergegas mengejar Robo yang berguling ditarik air laut.
“Ryo! Jangan ke situ! Ombaknya besar. Biar Ayah yang ambil.”
Robo sudah mengambang di air. Ombak menyeretnya makin dalam. Ayah kuyup hingga sebatas pinggang.
“Lihat! Ayah dapat si Robo!” seru Ayah girang. Aku menggigil. Ada ombak besar di belakang Ayah.
“Ayah! Ayah!”
Terlambat. Gulungan ombak telah menelan tubuh Ayah. Ia megap-megap mencari udara. Tangannya menggapai langit. Ayah tidak bisa berenang!
Aku menjerit seperti orang gila. Entah berapa lama aku meraung, memanggil siapa pun yang mungkin mendengar. Ketika kudengar langkah kaki berderap datang, aku keburu lemas. Matahari memanggang kesadaranku.
***
“Sudah, Sayang. Ayah sudah tenang.”
Aku tengadah. Mataku beradu dengan senyum Bunda. Air mataku terbit.
“Ryo yang salah, Bunda! Ryo yang salah!” Dukaku menetes jatuh ke pasir. Kepalan tangan terbuka, menjatuhkan butiran pasir.
“Bunda sudah ikhlas. Kamu juga ya, Ryo.” Senyum Bunda mengembang, menyajikan penawar luka. Bunda menarik tubuhku berdiri, dan mengajakku berlalu dari pantai.
300 kata, untuk Prompt #91
Ajarin dong Bang, diksinya kece badai.. Sukak
Makasih, Jun. Barangkali caranya adalah bikin cerita seperti biasa. Lalu telaah lagi, kata mana yang bisa diganti dengan kata lain yang lebih halus tanpa terkesan maksa, tanpa kesan berlebihan. 🙂
kayaknya saya salah pilih foto untuk prompt hikz ntar pada melow-melow ihh ceritanya huhuhhuh
selalu sukaak sama tulisan abang 😀
eh eh itu robo apa robot bang?
Hehe.. foto itu kalau menurut abang sih cocok buat prompt yang mellow atau yang kontemplatif (perenungan).
Robo itu maksudnya panggilan Ryo buat mainannya.
Makasih, Rannyyyy… 🙂
*brb telpon abah* :’)
jangan lupa bilang sayang, yaa.. 🙂
Aaah kasian ayahnya….jadi membayangkan ga bisa berenang dan harus bergelut dengan air seperti itu..:(
Iya, demi anak kadang orangtua jadi ‘lupa’. 😦
Sedih banget mas. Mimpi yang jadi kenyataan. Hiks
Hiks..
Terima kasih sudah mampir, yah 🙂
Kok cepat kali si ibunya ikhlas, Bang? *we want more drama* :p
Ibunya kan keren! Hehe.
Masih di pantai padahal tapi si bunda udah ikhlas aja. Nangis2 dulu kek. hahahaha
Hahaha… itu kan setelah sekian waktu berlalu. Makanya udah nggak nangis lagi. :p
huaa… sedih banget ceritanya.. 😥 kasihan ayahnya ya… *terbawa suasana*
cerpennya keren!
Makasih, Grant. 🙂
hiks… ceritanya sedih 😦
Iya… 😦
Terima kasih sudah mampir, Susanti. Gimana kabar Upin dan Ipin?
*eh.. :p
Yg jd pertanyaan itu gelombang apa? Ah iya ayahnya g bs renang
Gelombang air laut, Jiah. Si Ayah saking pengennya si anak senang, lupa kalau dia nggak bisa berenang.
Terima kasih sudah mampir 🙂
aku jd kuatir wong kadang aku jg kaya si ayah waktu main sama ponakan di laut
Di mana pun memang harus selalu hati-hati ya, Jiah. 🙂