#FFKamis – Candu

tersipu

Pernahkah kubilang padamu bahwa engkaulah puncak segala candu?
Senyummu candu.
Tawamu candu.
Kerlingmu candu.
Bahkan diammu candu.
“Keren.”
“Ih, Mas ngintip!”
“Udah, nggak usah disembunyiin kertasnya. Kebaca semua, kok.”
“Uhh.”
“Tambah manis deh kalo cemberut. Hehe.”
“…”
“Apalagi kalo tersipu-sipu. Pasti  banyak yang antre. “
“Apaan, sih? Emang sembako pake diantre?”
“Hahaha. Eh, itu Anya udah kelar dandan. Kalian mau ke mana sih?”
“Mas Ardi mau tauuuu aja.”
“Dih, Anya rese.”
“Ardi, jangan ganggu adikmu.”
“Eh, Ayah. Becanda kok, Yah.”
“Rani, yuk berangkat. Pamit dulu sama Ayah, Ran.”

Kuraih tangan lelaki itu, dadaku membuncah. Semoga tiada yang tahu, kaulah candu itu.

DOR!

prompt-134

DOR!
Satu letusan mengoyak sunyi di sebuah rumah besar. Langkah-langkah berderap menuju asal suara. Larry, jutawan tua itu tumbang terbelalak. Asap tipis di dahinya perlahan pudar, meninggalkan sebuah lubang berlumur darah.
“Ayah!” jerit Nancy yang pertama tiba.Tapi ia salah. Di depannya ada pemuda tampan yang gemetar memandangi korban.
“Robby?” Nancy histeris memandangi mayat dan Rob. Sesosok lelaki yang menyusul nyaris menubruk tubuh mungil yang mendadak muncul di ambang pintu sambil merapikan baju.

“Cin?”
“Don, ayah… ay…” Nancy ambruk. Don tak sempat menanyai adik iparnya. Ia kelabakan.

“Cindy, kemari!”
**
Badai masih perkasa. Listrik padam di rumah serupa istana. Empat orang membisu di ruang tamu berteman pelita. Mayat Larry dibiarkan hingga polisi tiba.
“Mereka pasti masih lama. Sementara pembunuh Ayah masih ada di sini.” Ada getar di suara Nancy, sudut matanya menuding Robby.
Yang dilirik berjengit. “Bukan aku! Ayah sudah mati waktu aku tiba.”
“Tapi itu pistolmu,” suara Don terdengar sebeku salju. “Bukan pistolku,”tukas Robby.
Gemetar jemari Robby memantik rokok. “Bisa saja kau pembunuhnya, Nan. Ayah benci kau karena menikahi Don.”
Nancy murka, bangkit menerjang. Cindy sigap menghadang. “Jangan berkelahi, kak!”
“Bukankah setiap kita punya pistol serupa? Ayah bilang untuk berjaga-jaga. Bahkan Cindy sang aktris juga punya. Ya, kan?” cibir Robby. Cindy tertunduk rikuh. “Kautahu aku benci pistol.”
Robby mengembuskan asap putih yang bergulung sejenak sebelum pudar disapu angin semilir dari kisi jendela.
“Atau kau yang menembak Ayah, Don? Kautahu, agar warisannya bisa dibagi. Supaya utang-utangmu terlunasi.” Rob mencondongkan tubuh ke arah Don. Menuding.
Don bangkit. “Pendusta! Kuhajar kau!”
Sebelum ia menerjang, kali ini Nancy yang mencoba menghalangi. “Sudah, hentikan!”
Nancy terlambat. Don telanjur menghantamkan tinju ke wajah Rob. Rob berteriak murka. Dua lelaki brewokan itu baku hantam. Cindy terdiam di sofa. Nancy histeris berusaha memisahkan.
DOR!
Jiwa Nancy ciut. Ada yang menembak! Di remang cahaya pelita dilihatnya Rob mendelik geram. Lalu perlahan Don rebah ke lantai. Nancy tercekat.
“DON!”  Ia menghambur.
“Sudah kubilang Nancy, bukan aku pembunuh Ayah! Lihat, pistolku masih ada padaku!” Rob meracau. Nancy meraung memeluk tubuh Don yang napasnya tinggal satu-satu.
“Bangsat kau, Ron! Setaaan!” Nancy menerjang membabi buta. Tangannya meraih pajangan kristal di meja. Ron mencoba berkelit tapi gagal. Kepalanya berdarah terhantam.
“Kau!”
“Apa?” tantang Nancy. “Mau menembakku juga? Ayo, tembak! Kalau aku mati, harta Ayah jatuh padamu. Buat menghidupi gundik-gundikmu, kan?”
“Kalau Cindy?”
Nancy mendengus, beringsut ke mayat suaminya. Tangannya menelusup di balik punggung Don.

“Kau lupa, Cindy itu anak pembantu yang dipelihara Ayah sejak kecil?” Ia tertawa meremehkan. “Dia penakut yang sok ingin jadi artis. Cih! Dia tidak berhak! Ya kan, Cin?”
Cindy tertunduk. Cacian Nancy melukai hatinya.
Rob melengos. Ketika pandangannya terarah kembali pada Nancy, dua lubang pistol menatapnya. “Kau harus menyusul Don,” sentaknya kejam.
DOR!
Don terbelalak.

 

DOR!
Nancy menjerit ngeri.
**
Pagi lahir mengusir sisa badai semalam.
Seorang polisi berusaha menenangkan perempuan muda yang tampak terguncang.
“Dia saksi mata baku bunuh semalam.”
Cindy berjalan pelan menuju ambulan. Perih di selangkangan terasa lagi. Tapi ketika usungan mayat-mayat melintas, senyum aneh hinggap di bibirnya. Matanya berpijar.
“Kirim salam untuk si tua terkutuk di neraka.”.

500 kata

[Small Things] Belum Lima Menit

simple things - belum lima menit

Standar kebersihan tiap orang memang berbeda-beda, bergantung pada kebiasaan pribadi, keadaan, dan banyak faktor lain. Sekali waktu saya pernah lihat seorang petugas kebersihan yang menyantap sebungkus nasi tak jauh dari bak sampah. Meski bagi beberapa orang, sekadar melintasi bak sampah saja sudah menimbulkan rasa jijik, buat petugas kebersihan itu hal biasa. Barangkali dia sedang istirahat dan tak boleh jauh-jauh dari ‘wilayah kerjanya’.  Atau penjaga toilet terminal yang santai saja mengunyah gorengan di depan ‘daerah kekuasaannya’.
Sekali waktu saya menyaksikan seorang teman yang rela membuang seporsi makanan yang dipesannya ‘cuma’ karena ada sehelai rambut nyempil di sebongkah nasi. Saya hanya bisa miris melihat bongkahan nasi, rendang yang belum dicuil, serta perintilan lainnya masuk ke tong sampah. Duh, kalau sama saya sih, paling cuma rambutnya aja yang saya buang, selebihnya dimakan. Hahaha.
Lain hari saat menemani seorang teman pergi ke suatu tempat, dia minta saya mampir ke lapak penjual air tebu. Kebetulan siang itu matahari sedang gagah-gagahnya. Dia turun menghampiri lapak sementara saya menunggu di motor. Belum semenit dia sudah kembali.
“Lho, kenapa nggak jadi?”
“Males.”
“Maksudnya?”
“Yang jual sedang merokok. Dan pas mau siapin air tebunya, dia nggak cuci tangan. Kita cari tempat lain aja.”
Saya ber-oh- sejenak lalu menyalakan motor. Standarnya lebih tinggi lagi, pikir saya.
Kalau saya sendiri sepertinya masih plin-plan dalam menerapkan standar kebersihan semacam ini. Ketika akan wudhu di musala atau mesjid, saya lebih memilih wudhu dengan air kran ketimbang air dalam bak. Banyak mesjid menyediakan satu bak besar air wudhu yang (kadang-kadang) sekaligus dialiri air. Jamaah yang akan salat berwudhu dengan cara menciduk air langsung tanpa gayung. Ketika membasuh wajah, air bekas basuhan kembali jatuh ke dalam bak. Saat mengusap tangan, air bekas usapan sebagian kembali lagi ke dalam bak. Jika hanya satu dua orang yang seperti itu, mungkin tak masalah (bagi saya). Tapi jika ada puluhan hingga ratusan orang?
Sekali lagi, memang saya masih plin-plan dalam menerapkan standar kebersihan semacam ini. Buktinya ketika makan di sebuah restoran siap saji, sepotong ayam yang saya pesan terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai. Sigap saya mengambil ayam goreng itu, mengelupas lalu membuang sebagian kulit garingnya yang (menurut perkiraan saya) terkena lantai, dan dengan santai kembali mengunyah daging lezat itu. Ah, belum lima menit!
Duh!

[Small Things] Secuil Iman

Ribut-ribut soal ‘buka warung siang hari’ yang selalu muncul tiap Ramadhan bikin saya teringat pengalaman puasa masa kecil dulu.

Lebih dari seperempat abad yang lalu (ya ampun! Tuanya kamu, Rig!) orangtua mulai melatih saya berpuasa. Waktu itu usia saya enam tahun dan baru kelas 1 SD. Berpuasa di Aceh relatif ‘gampang’. Suasana puasa sangat terasa. Tak ada warung makan yang buka siang hari, apalagi penjaja es. Para orang tua sering memuji anak-anak yang sedang berpuasa, kadang menghadiahi uang sekadarnya untuk buka puasa. Sesama teman pun, tidak berpuasa memberi rasa ‘malu’, sebab bakalan jadi ‘objek ejekan’. Daripada malu, saya kuat-kuatin puasanya. Kadang berat, sih. Namanya juga anak-anak, sesekali kalau bermain tak ingat situasi. Main lari-larian atau patok lele tentu menguras energi dan mengundang haus. Minta buka puasa sama orangtua? Paling disuruh tidur setelah sebelumnya diomeli panjang. “Lihat, tuh si Agam. Dia tahan puasa. Padahal dia sama umurnya dengan kamu. Bla bla bla.” Uh, sebal!

Kalau iman saya yang waktu itu masih secuil sedang goyah, sehabis main saya ‘mampir’ ke mushalla, pura-pura wudhu dan saat tak ada yang lihat, seteguk dua air pun lewat di tenggorokan. Satu kebodohan yang akan saya sesali sebab sakit perut datang setelahnya. Apalagi bila ketahuan orangtua, minimal satu jeweran mampir di telinga. Sudah batal puasa, sakit perut, eh kena jewer pula.

Sedikit beda ketika pada suatu Ramadhan saya berlibur di rumah saudara di kota M. Nuansa Ramadhan di kota terbesar di Sumatera Utara ini harus diakui tak sepekat daerah-daerah di Aceh. Banyak warung buka dengan bebasnya. Orang-orang makan-minum-merokok dengan santainya. Bagi anak sekecil saya yang imannya baru secuil, godaan seperti itu luar biasa berat. Dan tak menunggu lama, hari ujian tiba. Siang itu matahari begitu gagah perkasa. Meski hanya bermain sekadarnya, sudah cukup membuat saya ‘terkapar’.  Iman saya yang baru secuil itu harus menghadapi ‘kenyataan pahit’. Di warung depan sebagian orang dewasa tengah makan dengan santai. Satu dua teman bermain yang tak puasa dengan langkah mantap mendatangi warung es cendol dan memesan segelas es yang aduhai nikmatnya. Rasanya saya ingiiiiin sekali mencicipi es cendol itu walau cuma seteguk .

Tapi mana bisa!

Untuk ‘menghadap’ orangtua dan meminta izin membatalkan puasa adalah hal yang tak mungkin. Sementara haus sudah mencekik leher. Jadilah siang itu saya uring-uringan. Disuruh tidur saja, saya menolak. Haus. Apalagi kalau disuruh yang lain? Yang ada saya mengomel panjang pendek. Sesekali ‘mencatut’ nama teman yang dibolehkan orangtuanya untuk buka puasa. Tentu sambil tak lupa berkali-kali melirik warung es cendol. Sekadar memastikan es nikmat itu masih tersedia. Akhirnya orangtua ‘mengalah’ dan mengizinkan saya buka puasa. Jadilah hari itu saya kalah dengan segelas es cendol yang disediakan warung. Iman saya yang baru secuil itu tersungkur ke tanah.

Review Novel : A Copy of My Mind

A copy of my mind

A Copy of My Mind mengisahkan perihal Sari dan Alek, dua manusia yang dipertemukan secara kebetulan oleh satu kesamaan : film. Sari menjadikan film sebagai pelepasan atas penatnya hidup di kota besar, sementara Alek mengais rejeki dari pekerjaan sebagai penerjemah teks film (bajakan). Sari, penggemar film bernuansa monster, tak puas dengan hasil penerjemahan teks melancarkan protes pada pemilik lapak DVD bajakan tempat ia sering membeli,  tepat pada saat Alek ada di tempat yang sama. Keduanya merasakan ada rasa ketertarikan satu sama lain. Dan dimulailah kisah keduanya.

Saya menemukan kalimat ‘a film by Joko Anwar’ di sampul novel adaptasi oleh Dewi Kharisma Michellia saat pertama kali memegang novel yang saya dapat secara gratis dari Goodreads. (yeayy, thanks Michellia!). Oh, jadi ini novel yang disadur dari sebuah film, begitu yang terbenak di saya. Film apa itu? Saya belum pernah tahu. Dan saya memutuskan untuk tidak mencari tahu hingga saya selesai membaca novel ini secara keseluruhan. Saya membebaskan diri dari ekspektasi, dari keharusan membandingkan antara karya sebelumnya dengan novel ini.

Novel setebal 197 halaman ini berjalan dengan alur lambat. Hingga halaman 134, nyaris tak ada konflik berarti. Cerita berputar di sekitar kehidupan Sari dan Alek, proses pengenalan diri, pekerjaan masing-masing, hingga tumbuhnya cinta. Selipan cerita dari film ada di sana-sini. Beberapa bagian bahkan menyentil kejadian nyata. Seru! Gaya bahasa yang dipakai Michella untuk kedua tokohnya lugas, mengalir lancar. Bercerita dengan teknik dua POV, setiap tokoh menawarkan rasa yang berbeda. Cara pikir Sari dan Alek dijabarkan dengan runtut diselingi humor satir perihal kehidupan. Menyegarkan… walau akhirnya membosankan. Apa enaknya membaca novel tanpa konflik?

Mulai halaman 135, barulah konflik ‘sebenarnya’ diperkenalkan. Karena tindakan impulsif Sari mencuri DVD milik Ibu Mirna, salah satu klien yang sedang mendekam di ‘penjara bintang lima’, Sari dan Alek menemui masalah. Ketika sampai di halaman ini, saya sedikit khawatir. Bukan apa-apa, konflik baru dimulai sedangkan sisa halaman novel terlihat semakin tipis. Apakah konflik dapat di atasi dengan baik? Seperti apa penyelesaiannya? Akhirnya saya terpaksa kecewa karena cerita berakhir ‘begitu saja’. Saya cuma bisa berujar, ‘Oh’.

Di bagian ‘ucapan terima kasih’, Michellia menyebutkan bahwa sutradara film A Copy of My Mind, Joko Anwar, membebaskan ia untuk ‘menuliskan novel adaptasi sebebas-bebasnya, tanpa pembatasan’. Ia juga dibolehkan untuk menuliskan adegan tambahan, bahkan mengoreksi adegan dalam film. Sebuah privelese bagi penulis yang sebelumnya menelurkan karya perdana ‘Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya’. Kemewahan ini membuat saya bertanya-tanya : sudahkah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Saya belum menonton film aslinya yang berhasil diputar pertama kali pada seksi Film Kontemporer Dunia pada ajang Festival Film Internasional Toronto 2015 yang bergengsi. Apakah ujung kisah film sama dengan versi novel? Saya tak tahu. Seandainya akhir cerita film memang ‘seperti itu’, tidakkah penulis berpikiran untuk memberikan sebuah penyelesaian yang lebih ‘dramatis’ ketimbang akhir yang menggantung? Bukankah empunya film sudah memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya? 🙂
<a href=”https://www.goodreads.com/review/list/37294608-attar-arya”&gt;