Review Novel : A Copy of My Mind

A copy of my mind

A Copy of My Mind mengisahkan perihal Sari dan Alek, dua manusia yang dipertemukan secara kebetulan oleh satu kesamaan : film. Sari menjadikan film sebagai pelepasan atas penatnya hidup di kota besar, sementara Alek mengais rejeki dari pekerjaan sebagai penerjemah teks film (bajakan). Sari, penggemar film bernuansa monster, tak puas dengan hasil penerjemahan teks melancarkan protes pada pemilik lapak DVD bajakan tempat ia sering membeli,  tepat pada saat Alek ada di tempat yang sama. Keduanya merasakan ada rasa ketertarikan satu sama lain. Dan dimulailah kisah keduanya.

Saya menemukan kalimat ‘a film by Joko Anwar’ di sampul novel adaptasi oleh Dewi Kharisma Michellia saat pertama kali memegang novel yang saya dapat secara gratis dari Goodreads. (yeayy, thanks Michellia!). Oh, jadi ini novel yang disadur dari sebuah film, begitu yang terbenak di saya. Film apa itu? Saya belum pernah tahu. Dan saya memutuskan untuk tidak mencari tahu hingga saya selesai membaca novel ini secara keseluruhan. Saya membebaskan diri dari ekspektasi, dari keharusan membandingkan antara karya sebelumnya dengan novel ini.

Novel setebal 197 halaman ini berjalan dengan alur lambat. Hingga halaman 134, nyaris tak ada konflik berarti. Cerita berputar di sekitar kehidupan Sari dan Alek, proses pengenalan diri, pekerjaan masing-masing, hingga tumbuhnya cinta. Selipan cerita dari film ada di sana-sini. Beberapa bagian bahkan menyentil kejadian nyata. Seru! Gaya bahasa yang dipakai Michella untuk kedua tokohnya lugas, mengalir lancar. Bercerita dengan teknik dua POV, setiap tokoh menawarkan rasa yang berbeda. Cara pikir Sari dan Alek dijabarkan dengan runtut diselingi humor satir perihal kehidupan. Menyegarkan… walau akhirnya membosankan. Apa enaknya membaca novel tanpa konflik?

Mulai halaman 135, barulah konflik ‘sebenarnya’ diperkenalkan. Karena tindakan impulsif Sari mencuri DVD milik Ibu Mirna, salah satu klien yang sedang mendekam di ‘penjara bintang lima’, Sari dan Alek menemui masalah. Ketika sampai di halaman ini, saya sedikit khawatir. Bukan apa-apa, konflik baru dimulai sedangkan sisa halaman novel terlihat semakin tipis. Apakah konflik dapat di atasi dengan baik? Seperti apa penyelesaiannya? Akhirnya saya terpaksa kecewa karena cerita berakhir ‘begitu saja’. Saya cuma bisa berujar, ‘Oh’.

Di bagian ‘ucapan terima kasih’, Michellia menyebutkan bahwa sutradara film A Copy of My Mind, Joko Anwar, membebaskan ia untuk ‘menuliskan novel adaptasi sebebas-bebasnya, tanpa pembatasan’. Ia juga dibolehkan untuk menuliskan adegan tambahan, bahkan mengoreksi adegan dalam film. Sebuah privelese bagi penulis yang sebelumnya menelurkan karya perdana ‘Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya’. Kemewahan ini membuat saya bertanya-tanya : sudahkah dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya? Saya belum menonton film aslinya yang berhasil diputar pertama kali pada seksi Film Kontemporer Dunia pada ajang Festival Film Internasional Toronto 2015 yang bergengsi. Apakah ujung kisah film sama dengan versi novel? Saya tak tahu. Seandainya akhir cerita film memang ‘seperti itu’, tidakkah penulis berpikiran untuk memberikan sebuah penyelesaian yang lebih ‘dramatis’ ketimbang akhir yang menggantung? Bukankah empunya film sudah memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya? 🙂
<a href=”https://www.goodreads.com/review/list/37294608-attar-arya”&gt;

[Review Novel] Kapitan Pedang Panjang

kapitan pedang panjang

Judul                                                    : Kapitan Pedang Panjang

Penulis                                                  : Fira Basuki

Editor                                                    : Hayu Handayani, Mira Rainayati

Penata Isi                                            : Budi Triyanto

Desain Kover dan Ilustrasi          : Hagung Sihaq

Tebal                                                      : 264 ++ halaman

ISBN                                                      : 978-979-081-329-8

Penerbit                                              : Grasindo, 2010

 

Blurb!

Beberapa hari ini pedang panjang Eyang Djagad bersinar. Membuat aku sedikit ketakutan. Bahkan, aku melarang Roseuntuk masuk ke kamarku. Aku mencoba menyimpan pedang itu ke dalam lemari, namun sinarnya justru kian kuat dan berpendar, seakan-akan lemariku menjadi sebuah lemari ajaib yang bersinar. Jadi, kembali aku keluarkan dan pedang itu kembali bersandar di pojok kanan di depan tempat tidurku. Aku mulai ketakutan, memikirkan kemungkinan hantu Rendra kembali.

Syut! Syut! Syut!

Aku melihat orang yang menyerangku pindah menyerang Kapten Darmo. Ia kewalahan menghadapi enam orang. Aku datang membantunya, tapi kemudian seseorang muncul dengan topi lebar berbulu dan bersenapan pendek kemudian menembak Kapten Darmo.

Dooor!

“Kapten!”

Kapten Darmo terkapar berlumur darah. Aku mendekati dan memangku kepalanya. Ia tidak sempat berkata apa-apa, hanya menyerahkan pedang panjangnya yang penuh darah ke tanganku. Lalu, ia mengembuskan napasnya sebelum aku sempat menuntunnya berdoa.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun

Review

Kesan yang kamu harapkan saat ingin membaca bukunya.

Melihat sampul buku yang menggambarkan seorang kesatria berpedang menunggang kuda bersayap yang terbayang di benak adalah ini cerita zaman kerajaan dahulu kala yang bercampur dengan kisah fantasi. Beberapa kisah zaman dahulu masih menyelipkan cerita tentang makhluk-mahkluk mistis semacam kuda terbang, naga, rajawali raksasa, dan semacamnya. Sewaktu menelisik sampul belakang dan mendapati ada semacam kisah kekinian yang ditandai dengan kisah seorang perempuan. Ada pula cerita tentang seorang lelaki yang terlibat dalam sebuah pertarungan. Dua petikan cerita tersebut memiliki satu benang merah : pedang panjang dan kuda bersayap. Oke, artinya dua benda ini adalah hal-hal penting dalam cerita.

Selebihnya aku nggak punya gambaran apa-apa tentang cerita yang bakal aku baca.

Kesan yang kamu dapatkan setelah membaca bukunya.

Ada dua plot besar dalam cerita yang memakai alur maju-mundur untuk mengisahkan dua tokoh utama yang hidup di masa berbeda. Masing-masing mendapat porsi yang sama besar dalam cerita meski sebenarnya tak saling bersinggungan. Yang ‘menyatukan’ mereka berdua selain hubungan darah (si perempuan adalah cucu dari si lelaki) adalah sebuah buku harian si kakek yang berisi riwayat hidupnya semenjak memutuskan keluar dari lingkungan keraton yang nyaman. Saya sendiri tak menemukan satu pun cuilan cerita yang menunjukkan si kakek sedang menulis kisah hidupnya. Barangkali maksud penulis novel Kapitan Pedang Panjang ini kisah hidup si kakek dituliskan setelah hidupnya memasuki fase ‘tenang’. Sebaliknya, tokoh perempuan diketahui mulai menulis kisah hidupnya dalam diary setelah menerima ‘paket’ diary milik sang kakek.

Konflik berjalan seru sesuai dengan situasi zaman. Si kakek yang bernama Lelananging Djagad adalah lelaki berdarah biru yang lahir di wilayah Keraton Yogyakarta pada tahun 1924. Sedangkan cucunya Laras Maharani Djagad adalah perempuan masa kini yang berprofesi sebagai Creative Director di sebuah perusahaan iklan ternama, Eureka! Secara pribadi saya lebih tertarik dengan kisah hidup Eyang Djagad (demikian Laras menyebut kakeknya) sebab terjadi di akhir masa penjajahan Belanda dan merentang hingga tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia. Banyak konflik menarik yang bisa dinikmati dalam cerita dia : dirompak, menjadi tawanan di kapal-kapal asing, menjadi suami hanya untuk waktu satu malam (dan terulang hingga dua kali!) dan cerita kegigihannya mendapatkan pujaan hati. Sementara untuk Laras sendiri, kisahnya seputar pekerjaan sebagai Creative Director dengan beragam konflik dan intrik, pergulatannya untuk lepas dari bayang-bayang perceraian yang menyakitkan dengan Rio, serta hubungan asmaranya dengan dua lelaki baru : Bagus dan Rain. Salah satu dari mereka kelak akan jadi suami kedua Laras.

Intisari dari buku tersebut apa aja.

Sebagian sudah saya singgung di atas. Yang bisa saya tambahkan adalah ini adalah dua kisah anak manusia yang mencari kebahagiaan dalam hidup. Eyang Djagad memutuskan untuk meninggalkan kenyamanan dalam hidup sebagai anggota keluarga keraton sebab tak sudi dikirim ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan. Sebagai priyayi dia didampingi seorang pembantu setia bernama Rogo. Penulis menggambarkan sifat Djagad dengan pas : lelaki muda yang panasan, agak manja, tapi sekaligus berhati baik. Berbagai pengalaman hidup menempanya hingga menjadi dewasa.

Sedangkan Laras, setelah kegagalan dalam rumah tangga, hatinya sering bimbang dalam hal mencari pasangan. Apalagi kehadiran Rose, buah cinta dari pernikahan pertama menjadi pertimbangan lain. Lelaki yang akan dipilih Laras harus bisa mencintai Rose. Sedikit banyak aku merasa tokoh Laras adalah perwakilan diri Fira Basuki sendiri. Ada beberapa kemiripan sebenarnya : Laras dan Fira sama-sama bercerai dari suami pertama dan sama-sama memiliki seorang anak perempuan; Laras dan Fira sama-sama bekerja di dunia kreatif. Laras sebagai Creative Director, dan Fira sebagai pemimpin redaksi majalah wanita. Keduanya hidup mandiri, tinggal di apartemen bersama buah hati hingga kemudian menemukan tambatan hati.

Tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam buku tersebut siapa saja dan menurut kamu, karakter mereka bagaimana?

Laras, perempuan metropolitan yang mandiri dan berjiwa bebas. Tipikal perempuan urban yang menikmati hidup gemerlap meski kadang di luar kemampuan. Laras kesulitan mengatasi masalah keuangan hingga akhirnya mendapat bantuan dari keluarga. Pergaulan Laras pun sesekali menabrak batas norma : minuman keras dan sex bebas.

Djagad, lelaki muda yang berjiwa petualang. Tak sudi dikekang, lebih memilih pergi dari rumah untuk mencari pengalaman yang memperkaya batinnya. Djagad mengalami banyak peristiwa mistis dalam hidup, entah nyata entah tidak.

Rain dan Bagus, dua lelaki yang dekat dengan Laras setelah bercerai dengan Rio. Rain memiliki sifat pendiam dan tertutup. Bagus lebih ekspresif.

Keluarga Laras, Papa, Mama, Sekar, kakak tertua serta Dimas, adik bungsu. Mereka cuma ‘pemanis’ dalam buku ini. Semua kisah mereka terhubung dengan Laras. Tak ada plot tersendiri buat mereka.

Dan ada dua ‘tokoh’ lain yang mewarnai kehidupan Laras dan Djagad. Keduanya bukan manusia. Yang pertama adalah sebuah pedang panjang yang didapat Djagad dari seorang kapten kapal bernama Kapten Darmo, yang kelak diwariskan kepada Laras. Satu lagi adalah Sembrani, kuda bersayap yang sesekali muncul dalam kehidupan Djagad dan Laras. Djagad malah berkesempatan menungganginya, entah dalam mimpi atau alam sadar.

Ada juga tokoh-tokoh dengan kemampuan metafisika yang membantu Laras mengatasi ‘masalah batinnya’ : Astria (tokoh ini punya cerita sendiri di buku yang lain : Astral Astria) dan Bowo. Sekilas penggambaran tokoh ini mirip dengan tokoh ‘ustad seleb’ bernama Gatot Brajamusti. Yah, ini sih pendapat pribadi, ya. Hehe.

Alur ceritanya bagaimana? Maju, mundur atau maju mundur?

Maju mundur, maju mundur cantik…cantik… *ehh

Kamu “greget” nggak sama ending-nya? Apa sesuai dengan harapanmu?

Ending-nya sih sudah ketebak. Pokoknya yang bikin semua orang happy-lah.

Apa manfaat yang kamu peroleh setelah membaca buku tersebut?

Apa ya? Nggak ada yang khusus, sih. Aku nikmati aja ceritanya tanpa mikirin bakal dapat apa dari buku ini.

Kalau kamu ditakdirkan bertemu langsung dengan penulisnya, apa yang kamu ingin sampaikan padanya berkaitan dengan bukunya yang telah kamu baca?

Well, nggak kepikiran mau apa kalau ketemu. Paling foto bareng aja.

Berapa rating-mu untuk buku-nya?

Tiga setengah bintang. 🙂

 

Review Novel : Kembar Keempat

kembar-keempat

Penulis                                  : Sekar Ayu Asmara

Editor                                    : Atmanani

Tebal                                     : 271 halaman

Penerbit                                : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan Pertama                 : Juli 2010

ISBN                                    : 978-979-22-5929-2

“Anak yang terlahir kembar tak boleh terpisahkan oleh apa pun, oleh siapa pun.”

Sebelum “Kembar Keempat”, novel karya Sekar Ayu Asmara yang saya baca adalah Pintu Terlarang. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal nuansa cerita yang serius dan cenderung gelap. Mirip dengan Pintu Terlarang, Kembar Keempat mendasarkan cerita pada rahasia kelam masa lalu yang mempengaruhi kejadian-kejadian di masa depan.

Dibuka dengan tiga fragmen yang senada : peristiwa bunuh diri tiga orang perempuan cantik pada saat yang sama di tiga belahan dunia berbeda. Peristiwa-peristiwa ini bukanlah pemicu cerita melainkan akhir dari rentetan kejadian sebelumnya.

Lokasi cerita membentang di empat kota di tiga benua : New York, Paris, Istambul, dan Bali. Mengisahkan cerita kembar tiga lelaki yang ditampikan sempurna nyaris tanpa cela. Bhajra, Bhara, dan Bhadra berusia 25 tahun, tinggi 182 sentimeter, tegap atletis, berhidung mancung, mata elang, bibir padat. Kurang sempurna? Tambahkan lagi kelebihan-kelebihan mereka. Bhara si sulung adalah seorang penyanyi bersuara dahsyat yang kelak mendapatkan peran utama dalam sebuah drama musikal berjudul Prince of Bali yang diadakan di New York; Bhadra si tengah adalah pencipta lagu yang memenangi kompetisi International Song Festival 2004; dan si bungsu Bhajra adalah sutradara film dokumenter yang sedang mengerjakan proyek film dokumenter bertajuk Forgotten Kingdoms, serial yang menggali kejayaan keraton-keraton Nusantara masa lalu atas sponsor Asian Heritage. Sudah cukup sempurna? Ternyata belum. Penulis masih melengkapi tokoh kembar tiga dengan kelebihan-kelebihan lain semisal pintar bermain piano, biola, cello, dan bikin lagu. Ditambah lagi dengan mereka tinggal bersama orangtua yang kaya (raya). Sang ayah adalah seorang pemilik perusahan perkapalan dan sang bunda ibu rumah tangga biasa. Baru ketika sang ayah meninggal, Bunda mengambil alih semuanya.

Sudah bisa membayangkan betapa sempurnanya sang kembar tiga?

Oke. Itu tadi tokoh utama laki-laki. Beralih ke tokoh-tokoh utama perempuan. Selain sosok Bunda yang juga ditampilkan sempurna – cantik, cerdas, disiplin, perhatian pada anak-anaknya meski sibuk, mampu mengurus perusahaan mendiang suami – ada dua karakter perempuan yang mewarnai nyaris keseluruhan cerita. Ada Axena, model internasional yang berasal dari Indonesia dengan masa kecil yang buruk. Tinggal di panti asuhan, diadopsi wanita Belanda bernama Mama Bella, kembali lagi ke panti ketika berusia delapan tahun, dan menjadi model saat berusia empat belas tahun. Fisik Axena juga sempurna, hal yang mengantarkannya menjadi model. Tapi kenangan buruk saat diadopsi Mama Bella tampak berbekas dalam hidup Axena. Berikutnya hadir Havana, perempuan cantik yang berprofesi sebagai fotografer khusus korban bunuh diri. Fisiknya pun sempurna rupawan, berkepala plontos dan karakter yang tangguh. Apalagi? Havana punya kecerdasan di atas rata-rata hingga kedua orangtua memasukkannya ke Bloomenberg Institute for Gifted Children. (Institut untuk anak-anak berbakat benar-benar ada, hanya saja namanya adalah Bloomberg Institute for Gifted Children.)

Semakin jauh saya membaca dan mengenali para tokoh (utama ataupun figuran), saya sadari ada satu hal yang sama: nyaris semuanya memiliki fisik mendekati sempurna. Tinggi, tampan, jelita, mancung, tegap, langsing, semampai, bla bla bla. Mirip dengan tokoh-tokoh dalam cerita telenovela, yah?

Lalu apa yang diceritakan Sekar Ayu Asmara dalam novel setebal 271 halaman ini? Dan apa hubungannya judul Kembar Keempat dengan keseluruhan cerita. Sejak awal saya sudah menduga bahwa sebenarnya ada kembaran lain selain kembar tiga lelaki tampan nan sempurna itu. Tebakan saya salah satu dari tokoh utama perempuan adalah kembar keempat. Yah, saya hanya benar 50%. Benar ada kembar keempat, tapi bukan Axena atau Havana. Karena sebenarnya mereka berdua adalah…..upss.. hampir keceplosan. :p Jadi, siapakah kembar keempat itu? Saya tak punya petunjuk hingga penuturan seorang lelaki tua dari Bali menjelaskan semuanya. Sebenarnya saya agak sebal jika seluruh misteri yang dibeberkan dari awal hingga menjelang cerita bisa tuntas tas tass  ‘hanya’ dengan pengakuan satu tokoh saja. Sementara dalam rangkaian kisah sebelumnya tak ada petunjuk sama sekali.

Jadi, diceritakanlah kisah ‘sepak terjang’ masing-masing tokoh kembar tiga (kecuali Bhajra yang mendapat porsi cerita lebih sedikit ketimbang saudara-saudaranya) serta Axena dan Havana. Dunia modeling, fotografi, serta beragam ‘pernak-pernik’ luar negeri seperti makanan, minuman, adat, tempat bersejarah diceritakan dengan lancar. Sesekali saya merasa agak ‘eneg’ karena nyaris di tiap adegan ada deskripsi. Mau makan, ada deskripsi soal sejarah tempat makan; mau minum sesuatu, ada penjelasan nama minuman dan bahan pembuatannya; berkunjung ke kebun binatang pun serupa. Kadang saya berseru dalam hati, “Huh, pamer!” (Padahal sirik karena nggak mampu, hehe.) Meski begitu saya mesti acung jempol buat kefasihan penulis menceritakan hal-hal mewah dalam kisah ini. Saya jadi punya gambaran sendiri mengenai tempat, tatacara, atau hal-hal unik di lokasi-lokasi cerita. Penulis berkisah seolah dia sendiri yang menjalani pengalaman-pengalaman itu. (Barangkali memang benar mengalami, sih.)

Cerita seperti berjalan sendiri-sendiri. Bhara. Bhadra. Bhajra. Axena. Havana. Tiap tokoh menguasai’ bab cerita masing-masing dengan permasalahan sendiri. Baru kemudian kisah hidup tokoh perlahan saling mengait : Bhadra + Havana, Bhara dan Axena, dan Bhajra….hmm, tokoh kembar yang satu ini agak ‘terpinggirkan’. Kisahnya baru diulas setelah pertengahan novel. Itu pun bukan kisah cinta, melainkan soal pekerjaan dan sedikit misteri. Bhajra-lah yang menemukan kunci misteri hidup kembar tiga ketika tengah menyelesaikan film dokumenter di Bali. Kisah dua pasang sejoli ini (plus Bhajra) terhubung hanya melalui panggilan-panggilan telepon. Saat Bunda meregang nyawa, Bhara dan Bhadra gegas meninggalkan pacar-pacar mereka di belahan bumi berbeda untuk mendampingi. Bunda membisikkan sebuah rahasia. Bukan rahasia kelam sih sebenarnya, tapi membawa implikasi pada kehidupan kembar tiga. Isinya tentu saja bahwa mereka bukan hanya tiga bersaudara. Tapi Bunda tak sempat menjelaskan semuanya, keburu maut menjemput. Telepon dari Bhajra (yang herannya seperti tak terlalu sedih) menuntun mereka pada tokoh bernama Made Wiyata. Dialah kunci segala misteri.

Intermesso.

Siapkan KBBI saat membaca novel ini ya. Dijamin, di tiap halaman ada kosakata bahasa Indonesia yang barangkali belum pernah kalian temui sebelumnya. Pernah dengar kata menggelimuni, gelakak, kecundang, rutup, belintang, kepam, gayang, menggelugut, langkisan, keropeng, gelebah, mencelang, melangah, cemani, melanjar, geleser, gemeletap, melutu, gementam? Deretan kata itu saya temukan hanya dalam enam halaman pertama. Halaman sisanya? Perkirakan saja sendiri. Hehe. Pemakaian kosakata yang jarang dipakai ini punya dua sisi : memperkaya khazanah kata pembaca, atau justru membuat pembaca bosan/frustasi. Jujur, awal-awal membaca, saya siaga dengan aplikasi KBBI di ponsel. Tapi lama kelamaan nggak lagi. Kalau nggak mengerti artinya, ya dikira-kira saja. 😀

Tiga setengah bintang untuk Kembar Keempat.

Review : Ayah… Kisah Buya Hamka yang Menyentuh Jiwa

buya hamka

Penulis                 : Irfan Hamka

Editor                    : Muh. Iqbal Santosa, Andriyati

Tebal                     : 323++ halaman

Penerbit                : Republika Penerbit

Cetakan VII           : Juni 2014

ISBN                      : 978-602-8997-71-3

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”

Pesan yang menggetarkan itu datang dari lisan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia beberapa waktu sebelum ajal menjemput. Ketika pesan itu disampaikan pada Hamka pada tanggal 16 Juni 1970 saat Sang Presiden telah menutup mata, Hamka tanpa berpikir panjang langsung datang memenuhi harapan. Padahal saat itu semua orang tahu bahwa pada periode 1964-1966 Hamka dipenjara atas perintah Soekarno karena dituduh melanggar Undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11 yaitu merencanakan pembunuhan Soekarno. Dakwaan yang tak pernah terbukti benar. Hamka malah bersyukur sebab dalam masa penjara dia bisa menyelesaikan sebuah mahakarya yang akan selalu dikenang : Tafsir Al Qur’an 30 Juz yang diberi nama Tafsir Al Azhar.

Kebesaran hati sosok bernama lengkap H. Abdul Malik Karim Abdullah yang akrab dipanggil Buya Hamka ini sungguh patut dipuji. Pada orang-orang yang menyakiti hatinya ia tak menyimpan dendam. Selain Soekarno, sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah pula berseberangan dengan Hamka. Awal tahun 1963, Buya Hamka mendapat cobaan berupa fitnah dari dua surat kabar harian ibukota : Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur lewat sisipan ruang seni-budaya bertajuk Lentera yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer. Dua koran berbau komunis itu menuding Hamka menjiplak karangan Alvonso Care seorang pujangga Perancis untuk novelnya “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Serangan ini terus menerus dilakukan akibat sikap Buya Hamka yang berseberangan dengan PKI. Berbulan-bulan diburuk-burukkan lewat tulisan di koran – yang mengakibatkan kehidupan beliau dan keluarga morat-marit – tak membuat Buya Hamka jatuh benci. Ia tetap tenang seolah tak terjadi apa pun. Ketulusan hati ia buktikan lewat kesediaannya membimbing seorang lelaki bernama Daniel Setiawan ketika akan belajar Islam agar dapat menikah bernama Astuti, yang tak lain adalah anak kandung Pramoedya Ananta Toer.

Buku yang  ini bertabur hikmah diceritakan kembali oleh salah satu putra beliau yang bernama Irfan Hamka. Tentang teguhnya hati dan iman, yang tak goyah oleh keadaan. Bahkan Buya Hamka tak segan meninggalkan jabatan ketika akidahnya coba dilemahkan. Tahun 1981 ketika Majelis Ulama Indonesia yang saat itu diketuai oleh Buya Hamka mengeluarkan fatwa haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama, pemerintah yang merasa keberatan meminta MUI mencabut fatwa tersebut. Buya Hamka menolak dan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum MUI Pusat pada tanggal 21 Mei 1981. (Perihal kronologis pengunduran diri Buya Hamka tidak diceritakan secara detil oleh penyusun buku.)

Membaca biografi seorang tokoh besar yang pernah dimiliki republik ini lewat penuturan langsung Irfan Hamka – yang kerap mendampingi sang ayah di banyak kesempatan- saya menangkap kesan yang intim. Terasa akrab seolah saya sedang menyaksikan sendiri jalan hidup Buya Hamka yang berliku. Irfan Hamka membagi buku ini dalam sepuluh bagian;

  1. Bagian satu : Sejenak Mengenang Nasihat Ayah

Ada tiga kisah yang dibagikan di bagian ini, tapi satu yang paling mengesankan buat saya adalah nasihat Buya Hamka terhadap pasangan suami istri yang bermasalah dalam hal ‘hubungan suami-istri’. Terasa menggelitik namun cerdas. Plus manjur!

  1. Bagian dua : Ayah dan Masa Kecil Kami

Irfan bercerita perihal masa kecil dirinya dan sebelas saudaranya yang lain.

  1. Bagian tiga : Ayah Berdamai dengan Jin

Kali ini kisah seram yang hadir dalam kehidupan Buya Hamka sekeluarga. Kehadiran sosok jin yang mengganggu keluarga, keberanian Buya Hamka menantang jin, hingga ‘perdamaian’ di antara keduanya. Oh ya, ada penerjemahan ayat Al Qur’an Surah Adz Zariyat ayat 56 yang tidak lengkap di awal bab. Agak mengganggu mengingat buku yang saya baca adalah cetakan ketujuh.

  1. Bagian empat : Ayah, Ummi, dan Aku Naik Haji

Akhir Desember 1967, Pendjabat (Pd) Presiden Indonesia, Soeharto, menawarkan kesempatan menunaikan ibadah haji atas biaya negara. Buya Hamka mengajak istri tercinta dan Irfan – yang telah dewasa saat itu- untuk menemaninya. Bab ini bercerita soal kejadian-kejadian selama perjalanan dalam kapal yang memakan waktu hingga dua pekan.

  1. Bagian lima : Perjalanan Maut Ayah, Ummi, dan Aku

Masih melanjutkan kisah Buya Hamka, Ummi, dan Irfan Hamka selama menjalankan ibadah haji dan sesudahnya, kali ini cerita yang dihadirkan adalah seputar kejadian-kejadian saat maut terasa sejarak satu jengkal dari kepala. Nyaris digulung badai pasir, lolos dari tabrakan maut, hingga selamat dari terjangan banjir bandang.

  1. Bagian enam : Ayah Seorang Sufi di Mataku

Kecintaan Buya Hamka pada tasawuf dikisahkan secara singkat dalam bagian ini.

  1. Bagian tujuh : Ayah dan Ummi, Teman Hidupnya

Siapakah sosok Ummi yang menjadi pendamping hidup Buya Hamka selama lebih dari 40 tahun? Bagaimanakah peranan di balik layar sosok penyayang ini? Irfan menceritakannya dengan penuh cinta.

Buat saya pribadi, ada satu hal yang ‘mengganggu’ dalam tuturan di bab ini. Irfan mengisahkan bahwa ia dan sang Bunda pada suatu hari mengunjungi sembilan rumah kerabat yang berbeda tempat hanya dalam waktu seharian. Mengingat waktu itu (penulis tidak merinci tahun kejadian) mereka belum memiliki kendaraan pribadi dan bepergian dengan kendaraan umum. Bahkan salah satu alamat hanya bisa digapai dengan menumpang getek untuk menyeberangi sungai.

  1. Bagian delapan : Si Kuning, Kucing Kesayangan Ayah

Kenapa Irfan memutuskan memberi satu bab khusus untuk seekor kucing? Barangkali karena si kucing ini telah menjadi bagian dari keluarga besar Buya Hamka selama hampir 25 tahun. Kucing yang setia dan menjadi kesayangan Buya.

  1. Bagian Sembilan : Ayah, Hasil Karya, dan Beberapa Kisah

Menurut saya separuh awal bagian ini mestinya diletakkan di bagian awal buku. Kenapa? Sebab beberapa sub-judul bagian sembilan ini berisi kisah hidup Buya semasa kecil, perjuangannya dalam merantau, termasuk kisah yang menjadi pemacu semangatnya untuk terus belajar meraup ilmu. Tentang sebuah penolakan yang menggolakkan keinginan untuk terus berdakwah. Memang dalam penceritaan buku ini, Irfan tidak melakukannya secara runtut. Cerita melompat-lompat sesuai keperluan. Tapi jika sejak awal pembaca disuguhi kisah perjuangan Buya Hamka sedari kecil, menurut saya akan lebih baik.

  1. Bagian sepuluh : Ayah Meninggal Dunia

Mengharukan. Dada saya sesak membayangkan saat-saat terakhir tokoh besar ini. Saat lemah tanpa daya ia tak pernah meninggalkan Tuhannya. Buya Hamka sampai meminta salah satu anaknya untuk membawakan sebaskom pasir bersih agar dia dapat bertayammum sebelum shalat. Meskipun kondisinya sangat payah, akidah Buya tak pernah goyah.

Buku ini diawali dengan kata pengantar oleh Taufik Ismail dan diakhiri oleh baris-baris puisi milik Ratih Sang. Karena ini adalah semacam biografi tokoh, maka saya tak berhak menilai isinya. Kritik saya paling seputar kesalahan ketik yang masih banyak bertebaran. Buku yang sangat layak dibaca. Banyak mutiara hikmah di dalamnya.

The Cuckoo’s Calling : Dekut Burung Kukuk

DekutBurungkukukCover

Penulis: Robert Galbraith 
Alih bahasa: Siska Yuanita 
Desain sampul: Marcel A.W
ISBN: 9786020300627 
Halaman: 520 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

The Cuckoo’s Calling (TCC) adalah karya tulis kesembilan dari pengarang Inggris kenamaan J.K Rowling yang menggunakan nama Robert Galbraith sebagai nama samaran. Robert Galbraith dideskripsikan sebagai seorang mantan perwira kepolisian yang bekerja sebagai pengawal pribadi. Awalnya –meski mendapat ulasan positif- karya ini disambut biasa saja oleh penikmat novel. Di Inggris  terjual hanya sekitar 1500 eksemplar. Lalu, sebuah ‘petunjuk rahasia’ dari akun anonim Twitter yang diterima harian The Sunday Times of London mengungkapkan bahwa “Robert Galbraith” adalah nama samaran dari J.K Rowling. Setelah melakukan penyelidikan, The Times memastikan bahwa TCC benar-benar ditulis oleh J.K Rowling. Selanjutnya tinggal sejarah. TCC laris manis bak kacang goreng. Novel ini melejit ke puncak penjualan daring Amazon dan 300,000 eksemplar segera dicetak.

Lanjutkan membaca “The Cuckoo’s Calling : Dekut Burung Kukuk”