Permintaan Terakhir

Buat Ultah MFF

sketsa oleh Edmalia Rohmani

“Aku ingin bertemu putra tunggalku.”

Rakso, terpidana mati kasus pembunuhan satu keluarga, menyeringai. “Itu permintaan terakhirku,” sambungnya.

Krisna, jaksa eksekutor eksekusi mati menggeleng penat mengingat perkataan Rakso. Permintaan terakhir terpidana mati tak boleh diabaikan begitu saja. Sederhana sebenarnya, hanya saja…

“Nihil,” lapor Norman, bawahannya. “Kita sudah telusuri semua informasi. Tidak ada titik terang.”

Krisna mengerang. Sungguh dia tak menyangka akan sepelik ini. Rakso tidak mungkin dieksekusi sebelum permintaannya dipenuhi. Di mana anak itu? Informasi soal anak ini sangat samar. Mereka bahkan tidak punya fotonya.

“Sudah tawarkan permintaan lain, Pak?”

“Rakso menolak. Dia dan pengacaranya sudah memberitahu pers soal ini,” keluh Krisna.

Ada hening yang menyesak. Terbayang di mata mereka kondisi mengenaskan sepasang suami istri dan dua orang anak, salah satunya masih balita, saat ditemukan. Rakso menghabisi semuanya ketika dipergoki tengah merampok di rumah korban.

“Pak…” keraguan tebersit dalam suara Norman. Krisna menoleh.

“Ada satu informasi yang belum kita selidiki.”

“Lanjutkan.”

“Mardi, bekas teman satu sel Rakso bersedia bekerja sama.”

“Imbalannya?” tebak Krisna.

“Pemberian remisi tiap Idul Fitri dan Hari Kemerdekaan.”

Krisna berpikir lama. Akhirnya dia mendesah berat. “Baiklah. Akan aku urus.”

**

“Kau bukan anakku!” sembur Rakso. Lelaki muda di hadapannya tetap tenang. Rantai yang mengikat pergelangan dan kaki terpidana mati itu akan menghambat gerakannya. Di ujung ruangan, sipir siaga.

“Ayah boleh menyangkal. Tapi aku memang anakmu, Tamar.”

“Dusta!”

“Aku masih ingat, Yah, sebelas tahun lalu, umurku baru sembilan. Ayah menganiaya Ibuku hingga nyaris mati. Lalu pergi begitu saja. Ayah tahu apa yang terjadi selanjutnya?” Lelaki muda itu bicara tanpa kilas emosi di matanya.

Rakso mendengus.

“Ibu mati.” Suara Tamar begitu dingin. Seolah menceritakan perihal kucing yang mati. “Sesuai dengan harapanmu, kan, Yah?”

Hahahaha.

Rakso terbahak. “Siapa pun tahu cerita itu. Kau pasti suruhan polisi-polisi keparat itu.”

“Ayah sengaja mengajukan permintaan itu agar eksekusimu ditunda, kan? Karena Ayah tahu bahwa aku sudah lama hilang?” Ada senyum mengejek di bibir lelaki muda yang memiliki garis kemiripan dengan Rakso.

“Tapi aku tidak hilang. Aku mengikutimu, Yah. Kupikir negara dapat menghukummu dengan mudah. Ternyata kau licin. Maka aku muncul.”

Rakso bersandar dengan tenang. “Buktikan kalau kau memang anakku.”

Tamar membuka lengan kemejanya, memperlihatkan segaris bekas luka memanjang dari bahu hingga siku. “Lihat, ini hadiah darimu ketika aku mencoba membela Ibu.”

Rakso terkesiap. Tanda itu!

Tamar belum selesai bicara. “Dan aku tahu di bagian belakang telingamu ada bekas luka. Kau ingat siapa yang melemparkan asbak saat itu, kan?”

“Kau…kau anakku!” jeritnya. Sesaat dia langsung menyesali kalimatnya. Sipir dengan sigap turun tangan.

“Rakso, permintaan terakhirmu telah dipenuhi. Jadwal eksekusimu tidak akan ditunda lagi.”

Sipir memberi isyarat pada temannya untuk masuk. Berdua mereka menyeret Rakso yang berteriak histeris. “Aku tidak mau matiiii!”

Tamar menyaksikan adegan itu dengan wajah kaku.

**

Eksekusi usai. Krisna menemui Tamar di ruangannya. “Aku ikut bersedih.”

“Aku tidak,”senyum Tamar.

“Kau sangat membencinya, ya?

Tamar mengedikkan bahu. “Tidak juga. Aku baru saja bertemu dia di penjara.”

“Tapi…” Krisna terkesiap. Tamar mengenakan kaus oblong. Bekas luka di tangannya… memudar?

“Aku pamit, Pak. Dan tolong tepati janji kalian pada paman Mardi.”

Tamar berlalu dengan senyum.

——

Dibuat dalam rangka mengikuti Pesta Fiksi #25Januari sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Monday Flashfiction.

 

 

 

[Small Things] Terburu-buru Awal Keliru

pangkas

sumber

Lebih dari dua bulan tidak potong rambut (terakhir potong rambut di akhir bulan Juni) bikin kepalaku terlihat makin besar dengan rambut yang menjelang gondrong. Jadi, akhir bulan September silam kuputuskan untuk pangkas.

Beberapa tempat pangkas yang kudatangi masih tutup. Mungkin masih libur Lebaran Haji. Kulajukan motor menyusuri jalan yang agak lengang. Aha! Di deretan toko di depan sebuah hotel ada tempat pangkas yang sudah buka.

Aku memarkirkan motor dan masuk ke dalam ruangan. Ada seorang remaja lelaki yang sedang potong rambut dan seorang remaja lain sedang menunggu. Tukang pangkas hanya ada satu orang. Kuraih koran dan membaca sekadarnya. Lima menit kemudian remaja yang pertama selesai dirapikan rambutnya. Remaja kedua segera beranjak ke kursi pangkas.

Dari luar tempat pangkas, seorang bapak masuk. Si pemangkas memberitahukan si lelaki yang baru masuk.

“Sebentar lagi saya tutup, Pak. Hari ini cuma sendiri. Saya belum makan dan shalat.”

Entah apa jawaban yang diberikan si Bapak, yang jelas dia ikut menunggu. Dalam hati terselip perasaan tak nyaman. Tapi saat itu belum terpikir apa yang menyebabkan perasaan itu hadir.

Si remaja kedua pun selesai digarap rambutnya. Bukannya senang karena giliranku segera tiba, aku malah merasa sedikit heran. Cepat sekali, yah? Ketika aku dipanggil, gegas kunaiki kursi pangkas dan berbaring menyamankan diri.

Si tukang pangkas meletakkan handuk kecil di bagian belakang leher sebelum menutupi bagian depan tubuhku dengan kain lebar. Tentu saja gunanya agar potongan rambut tidak menyebar ke baju dan celana. Di sini rasa tak nyaman kembali muncul. Kali ini bisa kuidentifikasi ketidaknyamanan ini disebabkan karena aku teringat bahwa handuk yang disampirkan ini bekas handuk yang dipakai remaja sebelumnya. Aku ingin protes, tapi kemudian berpikir : Ah, sudahlah. Biar cepat.

Kusebutkan model rambut yang kuinginkan. Di sini ditipiskan. Di sini juga. Di bagian atas potong hingga tinggal sekian senti supaya jika dipakaikan jel rambut masih bisa dibentuk. Si tukang pangkas manggut-manggut dan mulai bekerja.

Sudah jadi kebiasaan, setiap mulai dipangkas aku akan ‘pasrah’. Sudah kubilang mauku. Tinggal berharap si pemangkas mengerti dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk membuat penampilan kepalaku jadi terlihat ‘lebih baik’.

Aku lebih sering memejamkan mata, menghindari potongan kecil rambut mengenai mata. Seraya berharap hasilnya bagus, tentu saja. Gunting dan alat cukur bekerja. Sraat…sreet…

“Selesai,” kata si tukang pangkas. Ha? Sudah selesai? Kok cepat sekali?

Aku membuka mata dan menghela napas. Hasilnya tak seperti yang kuharapkan. Rambutku dipotong mengikuti bentuk kepala. Nyaris bulat. Membuat wajah bulatku terlihat makin bulat. Rambut di bagian atas kepala sama sekali tak bisa diapa-apakan. Tak bisa dibuat berdiri. Tak bisa disisir ke kanan-kiri. Sepertinya aku harus bertanya sebelum mulai potong rambut : Banyak waktu, Bang?

Kusodorkan uang duapuluh ribu sebagai biaya pangkas. Ketika kakiku melangkah keluar dari ruangan pangkas, sebuah niat langsung terbetik di benak.

“Aku harus beli tonik rambut, nih!”

[Small Things] Tertipu Mata, Keliru Kata

orang-kaya130601b

sumber

Ketika menemani seorang teman melakukan kunjungan kerja (visit) ke alamat salah satu Wajib Pajak di Subulussalam, aku sedikit tertegun. Yang mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya adalah lelaki tua berusia enampuluhan. Bercelana pendek dan kemeja lengan pendek berwarna putih kusam. Seluruh permukaan kepalanya telah dikuasai uban. Tapi perawakan lelaki itu masih tegap, terlihat sehat.

“Silakan masuk, Pak,” sapanya ramah.

Aku dan temanku melangkah ke dalam rumah. Kami duduk di ruang tamu yang berisi seperangkat sofa. Setelah basa-basi perkenalan diri, temanku menyampaikan maksud kunjungannya. Aku hanya mengamati.

Jadi ini lelaki yang disebut-sebut sebagai orang paling kaya di ‘kota’ ini? Kulirik mobil mahal yang terparkir di depan rumahnya. Pandangan tak sengaja tertancap pada sakunya yang penuh. Lembaran biru limapuluh ribuan berjejal di dalamnya.

Benarkah cerita itu? Benakku teringat pada ‘kabar burung’ yang menyebutkan bahwa lelaki inilah yang sempat membuat seorang kepala cabang sebuah bank pemerintah memohon-mohon padanya. Kehebohan yang bermula dari salah kata.

Katanya, suatu hari si lelaki tua mendatangi bank pertama di ‘kota’ ini untuk suatu urusan. Dengan penampilan selayaknya petani yang hendak ke ladang : celana pendek, baju kaus kusam, topi jerami, dan sandal jepit, si lelaki menghampiri Customer Service dan menanyakan/meminta bantuan untuk suatu hal. Barangkali si petugas (entah lelaki entah perempuan) sedang sibuk, sudah lelah, atau banyak masalah, terucaplah kalimat yang mungkin biasa tetapi ‘salah nada’. Bisa juga karena tampilan si lelaki tua yang sangat biasa, maka dia bersikap kurang sopan. Si lelaki tua tersinggung. Merasa disepelekan.

Masalah lalu timbul.

Lelaki tua itu menelepon kepala cabang bank itu. Sebuah ‘ancaman’ dia keluarkan.

“Saya akan tarik semua uang saya di bank ini!”

Dang!

Ternyata si lelaki menyimpan dana berjumlah ratusan juta (ada juga yang bilang milyaran) di bank itu. Jika dana tersebut dialihkan ke tempat lain, bisa menggganggu arus kas. Apalagi untuk sebuah bank kecil yang belum lama beroperasi.

Singkat cerita, si pimpinan bank bersama Customer Service yang ‘malang’ datang menemui si lelaki tua. Tujuannya jelas, meminta maaf dan mengharapkan agar si lelaki tua tak menarik dananya. Pertemuan berakhir baik. Si lelaki tua memaafkan sikap Customer Service dan mengurungkan niatnya.

Pikiranku kembali pada ruang tamu tempat kami berada. Si lelaki tua rupanya sedang bicara santai dengan temanku. Topik yang diobrolkan adalah perihal sebidang tanah milik lelaki tua yang akan dibeli oleh pihak kantor sebagai lokasi pendirian gedung baru. Harga yang disepakati mencapai ratusan juta rupiah. Aku meneguk ludah, berseru dalam hati.

“Makin kaya aja nih bapak!”

FFRabu – Mertua oh Mertua

mertua

sumber

Sedari dulu sudah kutahu, Ibu mertuaku adalah perempuan yang sangat menyayangi anaknya. Pasalnya, Menur, istriku itu adalah anak tunggal.

“Nur, aku mau bicara soal Ibu.”

Menur mengangkat matanya dari deretan huruf majalah. “Ya, Mas?”

Aku berdeham. “Bisakah kauminta pada Ibu agar tak usah datang lagi?”

Menur sontak berdiri. Matanya menudingku. “Mas tak suka? Kenapa?”

“Aku…tak nyaman.”

“Mas! Ibu cuma sesekali datang! Dia hanya ingin menjengukku!”

“Tapi..”

Kalimatku terhenti saat dari luar kudengar suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan pintu.

“Ibu datang! Masuk saja, Bu!”

Pintu masih tertutup rapat. Hanya wangi melati yang perlahan meruap di sekujur ruangan.

100 kata

[Small Things] Pelanggan Adalah (Tak Selalu) Raja

customer-is-king

sumber

Beberapa tahun silam ketika masih bertugas di sebuah kota yang ‘baru jadi’, perjalanan pulang pergi menjadi hal yang rutin nyaris setiap pekan. Jarak Subulussalam (nama kota tempat bekerja) dengan Medan (kota persinggahan sebelum menuju kota asal) sekitar 6-7 jam perjalanan. Jarak tempuh sebenarnya ‘hanya’ dua ratusan kilometer, tapi dengan kondisi jalan yang…hmm sebentar, ada lagu yang tepat untuk menggambarkannya.

Lagu yang ‘sesuai’ untuk menjelaskan rute yang mesti ditempuh setiap pulang-pergi adalah lagu tema film kartun Ninja Hattori. Masih ingat liriknya? Yuk, nyanyi.

Mendaki gunung, lewati lembah. Sungai mengalir indah ke muara. Bersama teman, bertualang!

Nah, kurang lebih begitu. Bahkan ketika melewati daerah perbukitan, pilihan pemandangan tinggal dua : kiri jurang kanan tebing. Awalnya deg-deg serr saat melewati rute yang ini. Tapi lama-lama biasa saja.

Sebenarnya ini mau ceritain tentang apa sih?

Oke. Sebenarnya mau cerita soal angkutan yang dipakai. Ada dua moda transportasi yang biasa aku pakai : taksi (gelap) atau Himpak (nama angkutan). Angkutan taksi biasanya menggunakan (terpaksa sebut merek, deh) Toyota Avanza atau Daihatsu Xenia. Nyaman sih, tapi buatku masih kurang lega. Kaki tidak bisa diluruskan, dan jika terlalu jauh merebahkan kursi, pasti deh penumpang di belakang protes. Tapi yang jelas, pelayanan supir relatif baik. Supir mengemudi hati-hati, AC dinyalakan dengan suhu sejuk, dan lagu-lagu lembut diputar sebagai pengantar tidur. Ya, karena waktu perjalanan yang disarankan sih memang perjalanan malam. Sekalian istirahat.

Moda transportasi berikut adalah Himpak. Ini sebenarnya singkatan dari Himpunan Masyarakat PakPak. Nama sebuah suku di Sumatera Utara. Moda ini punya dua ‘kelas’ yaitu Executive dan Royal. Executive sih termasuk kelas ‘bawah’. Sempit dan kurang nyaman. Satu mobil ini dijejali hingga 12 bangku. Beda dengan kelas Royal, hanya ada 9 bangku. Padahal keduanya memiliki panjang yang sama.

Aku lebih memilih naik Royal yang bertarif limabelas ribu lebih mahal ketimbang tarif Executive. Kaki bisa diluruskan hingga benar-benar lurus. Dan kursi yang direbahkan pun jarang mengundang protes penumpang belakang. Ya asal jangan benar-benar datar, bakalan digaplok.

Himpak tidak menggunakan AC. Sebenarnya untuk perjalanan malam, AC sama sekali tak diperlukan. Apalagi ketika memasuki wilayah dingin seperti Berastagi. Semilir angin yang menelusup dari celah jendela cukup bikin badan menggigil.

Nah, yang jadi persoalan adalah para supir ini jarang yang benar-benar memikirkan penumpang. Subjektif memang. Pastilah mereka ingin penumpang semua selamat, karena itu juga berarti dia sendiri selamat. Tapi pelayanannya kadang mengesalkan. Mobil Himpak rata-rata dipasangi soundsystem yang lumayan jederr. Jika baru berangkat malam sekitar pukul sembilan, masih boleh lah memutar lagu-lagu house music yang entah apa iramanya. Yang kedengaran cuma jedag-jedug aja. Tapi kalau sudah memasuki waktunya tidur, sekitar jam 11 malam, ada supir yang masih saja menyetel perangkatnya dengan volume ajib.

Tak jarang penumpang harus berkali-kali menegur supir agar menyesuaikan volume. Tapi jawaban standar yang sering diberikan adalah :

“Biar nggak ngantuk awak, Bang.”

Dalam hati aku ngedumel. “Bang, pakai headset deh. Setel volume maksimal sampai budek pun boleh. Abang aja lah yang nggak ngantuk, kami mau tidur.

Tak cuma Himpak, beberapa supir bis pun masih kekurangan empati terhadap penumpangnya. Kadang hanya memutar musik dengan volume keras, kadang sekalian menyetel film. Seperti beberapa minggu lalu.

Kala itu jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Aku sengaja memilih perjalanan malam dengan tujuan ketika sampai di tempat, sudah sempat tidur. Agar badan lebih segar. Tapi apa yang terjadi? Di dalam bis ternyata sedang diputar sebuah film action yang dibintangi oleh Sylvester Stallone dkk. Adegan tembak-tembakan, teriakan, ledakan bom, deru kendaraan, bercampur baur. Aku gelisah di kursi. Mau langsung menegur, beberapa penumpang terlihat sedang asyik menonton. Ya, sudah. Sepertinya film sudah hampir selesai. Sudah menjelang klimaks.

Ah, benarlah dugaanku. Limabelas menit kemudian film berakhir. Aku menghela napas lega, membetulkan letak selimut, dan bersiap tidur. Tapi apa yang terjadi? Si supir (atau kernet) malah menyetel lagu house dangdut! Tengah malam! Dengan volume keras! Aku naik darah! *oke, terlihat mulai lebay*

Kusingkirkan selimut, meminta izin lewat pada seorang penumpang lain di sebelahku dan dengan langkah tergesa menuju supir.

“Bang, kecilkan suara tv-nya. Udah malam, gini.”

Ya, kekesalan membuatku melupakan sopan-santun. Aku tidak lagi meminta. Aku memerintah. Mungkin menyadari kesalahannya atau memang mengetahui kekesalanku, supir langsung mematikan video musik yang dia putar. Aku menghela napas dan berlalu kembali ke kursi. Membetulkan letak selimut, mencari posisi tidur yang pas, dan berharap kantuk kembali datang.

Sepuluh menit kemudian.

Video musik house dangdut itu kembali di putar! Aduh, tobat!