DOR!
Satu letusan mengoyak sunyi di sebuah rumah besar. Langkah-langkah berderap menuju asal suara. Larry, jutawan tua itu tumbang terbelalak. Asap tipis di dahinya perlahan pudar, meninggalkan sebuah lubang berlumur darah.
“Ayah!” jerit Nancy yang pertama tiba.Tapi ia salah. Di depannya ada pemuda tampan yang gemetar memandangi korban.
“Robby?” Nancy histeris memandangi mayat dan Rob. Sesosok lelaki yang menyusul nyaris menubruk tubuh mungil yang mendadak muncul di ambang pintu sambil merapikan baju.
“Cin?”
“Don, ayah… ay…” Nancy ambruk. Don tak sempat menanyai adik iparnya. Ia kelabakan.
“Cindy, kemari!”
**
Badai masih perkasa. Listrik padam di rumah serupa istana. Empat orang membisu di ruang tamu berteman pelita. Mayat Larry dibiarkan hingga polisi tiba.
“Mereka pasti masih lama. Sementara pembunuh Ayah masih ada di sini.” Ada getar di suara Nancy, sudut matanya menuding Robby.
Yang dilirik berjengit. “Bukan aku! Ayah sudah mati waktu aku tiba.”
“Tapi itu pistolmu,” suara Don terdengar sebeku salju. “Bukan pistolku,”tukas Robby.
Gemetar jemari Robby memantik rokok. “Bisa saja kau pembunuhnya, Nan. Ayah benci kau karena menikahi Don.”
Nancy murka, bangkit menerjang. Cindy sigap menghadang. “Jangan berkelahi, kak!”
“Bukankah setiap kita punya pistol serupa? Ayah bilang untuk berjaga-jaga. Bahkan Cindy sang aktris juga punya. Ya, kan?” cibir Robby. Cindy tertunduk rikuh. “Kautahu aku benci pistol.”
Robby mengembuskan asap putih yang bergulung sejenak sebelum pudar disapu angin semilir dari kisi jendela.
“Atau kau yang menembak Ayah, Don? Kautahu, agar warisannya bisa dibagi. Supaya utang-utangmu terlunasi.” Rob mencondongkan tubuh ke arah Don. Menuding.
Don bangkit. “Pendusta! Kuhajar kau!”
Sebelum ia menerjang, kali ini Nancy yang mencoba menghalangi. “Sudah, hentikan!”
Nancy terlambat. Don telanjur menghantamkan tinju ke wajah Rob. Rob berteriak murka. Dua lelaki brewokan itu baku hantam. Cindy terdiam di sofa. Nancy histeris berusaha memisahkan.
DOR!
Jiwa Nancy ciut. Ada yang menembak! Di remang cahaya pelita dilihatnya Rob mendelik geram. Lalu perlahan Don rebah ke lantai. Nancy tercekat.
“DON!” Ia menghambur.
“Sudah kubilang Nancy, bukan aku pembunuh Ayah! Lihat, pistolku masih ada padaku!” Rob meracau. Nancy meraung memeluk tubuh Don yang napasnya tinggal satu-satu.
“Bangsat kau, Ron! Setaaan!” Nancy menerjang membabi buta. Tangannya meraih pajangan kristal di meja. Ron mencoba berkelit tapi gagal. Kepalanya berdarah terhantam.
“Kau!”
“Apa?” tantang Nancy. “Mau menembakku juga? Ayo, tembak! Kalau aku mati, harta Ayah jatuh padamu. Buat menghidupi gundik-gundikmu, kan?”
“Kalau Cindy?”
Nancy mendengus, beringsut ke mayat suaminya. Tangannya menelusup di balik punggung Don.
“Kau lupa, Cindy itu anak pembantu yang dipelihara Ayah sejak kecil?” Ia tertawa meremehkan. “Dia penakut yang sok ingin jadi artis. Cih! Dia tidak berhak! Ya kan, Cin?”
Cindy tertunduk. Cacian Nancy melukai hatinya.
Rob melengos. Ketika pandangannya terarah kembali pada Nancy, dua lubang pistol menatapnya. “Kau harus menyusul Don,” sentaknya kejam.
DOR!
Don terbelalak.
DOR!
Nancy menjerit ngeri.
**
Pagi lahir mengusir sisa badai semalam.
Seorang polisi berusaha menenangkan perempuan muda yang tampak terguncang.
“Dia saksi mata baku bunuh semalam.”
Cindy berjalan pelan menuju ambulan. Perih di selangkangan terasa lagi. Tapi ketika usungan mayat-mayat melintas, senyum aneh hinggap di bibirnya. Matanya berpijar.
“Kirim salam untuk si tua terkutuk di neraka.”.
500 kata