Rajaku, kesayanganku.
Aku menjunjungmu. Kata-katamu titahku. Meski harus menjual raga, aku rela.
“Kakiku sakit!”
Maka aku tergopoh memijat. Kubalur kakimu dengan minyak, kutekan-tekan perlahan.
“Aw! Terlalu keras, bodoh!”
Aku tunduk mengelus perih pelipis. Aku terima, Rajaku.
“Mana makananku?”
Gegas langkahku meraih piring, menyuapimu perlahan.
“Phuah! Asin!”
Kusapu remah sayur di wajah. Kata maafku berhamburan. Wajahmu murka. Sebelah matamu yang buta membelalak. Bibir miring berdesis.
“Perempuan sialan!” Kau berlalu tersaruk membawa kaki-kaki yang mengecil.
Aku ikhlas, Rajaku. Ndoroismeku punya alasan. Salahku, dulu tak inginkanmu. Perutku kuisi beragam racun ramuan, berharap kau luruh bersama malu. Tapi kau lebih kuat, Rajaku. Sangat kuat.
Aku paham, macam sinetron di tipi, emak buang anak, anaknya kaya, emaknya balik lagi trus jadi babu.
Bisa juga, Ayu. Waktu bikin ini yang kepikiran adalah si ibu tidak ketemu anaknya setelah ia kaya. Si anak masih kecil, tapi menyimpan amarah sebab ibunya tak menginginkan ia. Akibat obat-obatan yang dikonsumsi si ibu -yang niatnya untuk mengugugurkan janin- si anak lahir cacat. Sebab itu jalannya terpincang.
Makasih udah baca, Ayu. 🙂
aku perlu baca dua kali baru ngeh hahaha.
Syukurlah kalau cerita ini bisa dipahami. Terima kasih sudah mampir. 🙂
anak durhaka
atau ibunya?
dua-duanya lah 😀
Nahh… baru pas. 😀