[Cerita Pendek] Kamar Ibu

foto : rumahsewajogja.net
foto : rumahsewajogja.net

“Jangan dibongkar!” jerit Ranti panik. Dadanya sesak oleh kesedihan melihat dinding kamar ibunya mulai dihantam godam. Serpihan-serpihan semen dan bata bertebaran di lantai. Udara dipenuhi debu yang memerihkan mata. Dua lelaki pekerja itu hanya menatapnya sejenak lalu melanjutkan tugas mereka.

“Sudah, sudah, Ranti. Relakan saja. Sudah nasib kita begini,” di sebelah gadis remaja itu seorang lelaki berdiri kaku. Tangan kanan pria bernama Dany itu memegang erat tangan adiknya agar tidak menghambur menghalangi proses perubuhan itu. Matanya disaput kegeraman, dan kekalahan. Seandainya saja mereka memiliki pembela. Tapi tidak…kali ini tak ada yang membela.

“Jadi kan kalian bisa lihat kalau rumah Uwak sudah nggak muat lagi. Itu cucu-cucu tiap malam tidurnya berdesak-desakan. Kasihan,” dua hari lalu Wak Bari berbicara empat mata dengan Dany. Pria muda itu terkesiap mencoba menebak arah pembicaraan Uwak.

“Uwak punya rencana mengambil kamar ibumu buat Uwak,” kata Wak Bari datar. Dany tertegun. Mengambil?
Uwak Bari mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke udara. Dany terbatuk pelan, dia tak pernah menyukai bau asap rokok.

“Uwak sudah bilang dengan Uwak Gani. Dia mengizinkan,” Uwak Bari menyebut nama lelaki tertua dalam keluarga. Lelaki yang dikatakan masih memegang surat tanah di mana bangunan rumah mereka berdiri. Rumah berbentuk memanjang yang ditinggali oleh tiga keluarga. Setiap keluarga mendapat bagiannya masing-masing : keluarga Mak Suri di bagian depan, keluarga Wak Bari di tengah, dan keluarga Murdi – ayah Dany—menempati bagian belakang.

“Tapi Wak, kami kan juga perlu kamar itu,” Dany berusaha bertahan. “Kalau nanti Dany menikah kan bisa tinggal di situ juga. Atau kalau Ranti menikah.”

“Alah, laki-laki kan biasanya tinggal di rumah orang tua istri,” sigap Wak Bari menukas.” Dan kalau Ranti menikah? Hah, masih berapa tahun lagi? Sepuluh?” Ada senyum sinis di bibir lelaki separuh baya yang sudah beberapa bulan ini menampung salah satu anaknya beserta keluarga untuk tinggal bersama.
“Uwak juga yakin, almarhumah ibumu mengizinkan,” tukas Wak Bari. Hati Dany terasa teriris ketika diingatkan kembali akan kepergian ibunya.

“Boleh Dany bicara dulu dengan Wak Gani?” Dany bertanya pelan.

Wak Bari mendadak menegakkan tubuh besarnya. “Mau apa? Membujuk Wak Gani biar batalin izinnya? Nggak ngaruh! Mau dikasih apa nggak, tetap Uwak bongkar kamar itu. Dibongkar dari tempat Uwak, biar jadi kamar lagi.”

Wak Bari menjatuhkan rokoknya yang nyaris habis ke lantai dan menginjaknya hingga lumat. Tanpa berkata apa-apa dia berlalu meninggalkan Dany yang masih terpaku di kursinya. Sebulir air mata menggantung di pelupuk mengingat nasib dia dan adiknya yang seolah tanpa pegangan. Tempat untuk mengadu, yang akan membela diri mereka berdua. Sejak ibu mereka meninggal dua bulan lalu, resmilah mereka menjadi yatim piatu.

“Sudahlah, Ranti. Jangan nangis lagi. Ikhlasin aja,” Dany mengelus pelan rambut adiknya yang duduk di sudut ranjang. Mereka berdua berada di kamar Ranti yang persis bersebelahan dengan kamar almarhumah ibu mereka. Suara dentam godam sudah berhenti sejak tadi. Dany yakin di dinding seberang telah ada sebuah lubang besar seukuran pintu. Barangkali besok orang-orang suruhan Wak Bari akan memasang kusen pintu.

“Tapi Bang, itu kamar Ibu sama Ayah! Wak Bari kan udah punya bagian rumahnya sendiri. Rumahnya jadi sempit karena keluarga Bang Amad numpang di situ juga. Kalau rumah kita sempit karena kita tampung saudara-saudara lain kan nggak berarti kita boleh ngambil jatah ruangan orang lain.”

Dany hanya terdiam mendengar kegusaran Ranti. Dalam hati dia membenarkan kata-kata adiknya itu.

“Apa karena ayah sama ibu udah nggak ada makanya kamar itu bisa diambil seenaknya? Kalau nanti rumahnya masih sempit, apa ruang tamu kita akan diambil juga?” Ranti masih gusar. Matanya memerah meski tak ada lagi air mata di pipinya.

Seseorang berdeham di ambang pintu. Sontak Dany dan Ranti menoleh. Wak Gani berdiri memandang mereka dengan tatapan sedih. Rasa bersalah tampak jelas di wajahnya. Tanpa dipersilakan dia duduk di tepi ranjang.

“Uwak minta maaf nggak bisa cegah keinginan Wak Bari kalian,” katanya membuka percakapan. Dany dan Ranti hanya diam.

“Kalian tahu kan sifat Uwak kalian yang satu itu? Jika maunya tak dituruti, dia bakalan ngamuk. Dan dia nggak segan-segan buat bertengkar dengan siapa pun,” Wak Gani tertunduk dalam,” bahkan dengan Uwak, abangnya yang paling tua.”

Dany menghela napas panjang. Jika Wak Gani saja tak bisa membantu mereka, siapa lagi? Merasa tak mendapat balasan reaksi apapun, Wak Gani bangkit dan beranjak ke pintu. Saat melangkah ke luar, bibirnya terbuka hendak mengucap sesuatu. Tapi niat itu dia batalkan. Sambil menggelengkan kepala dia berlalu.

***

Sudah seminggu berlalu. Ranti masih belum bisa memaafkan perbuatan Wak Bari. Setiap hendak ke luar untuk sekolah atau keperluan lain, dia memilih jalan memutar ketimbang harus melewati bagian rumah Wak Bari. Jika berpapasan pun dia akan melengos. Sementara Dany sudah bisa mengikhlaskan kejadian itu. Pintu kamar di bagian depan sudah ditutup dengan tripleks dan dicat sewarna dengan dinding. Meski belum bisa bersikap biasa kepada Wak Bari, dia tetap menggunakan koridor melewati rumah Wak Bari setiap kali berangkat kerja.

Subuh ini Dany memilih shalat di kamarnya. Dia bangun sedikit terlambat sehingga tidak sempat untuk shalat berjamaah di mushalla dekat rumah. Ranti pasti sedang mengerjakan tugas rumah dan setelah itu bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Tok tok…

“Masuk aja, Ranti,” Dany mempersilakan. Ranti masuk ke dalam kamar masih mengenakan mukena. Matanya sembab dan basah. Dany terkejut dan segera meletakkan buku yang sedang dibacanya.

“Kok nangis? Ada apa?”

Ranti mengambil tempat duduk di sebelah abang satu-satunya itu. Tangannya memeluk lengan lelaki itu erat.

“Ranti mimpi ibu,” jawab gadis remaja itu singkat. Dany tersenyum. Pasti Ranti sedang rindu ibu sehingga dia bermimpi.

“Ibu bilang apa?”

Ranti menatap mata abangnya. “Ibu minta Ranti ikhlas, Bang.”

“Eh, beneran?” Dany sedikit bingung. “Coba jelasin ke abang.”

Ranti membuka mukenanya lalu melipat rapi kain putih itu. “Ibu bilang supaya Ranti ikhlasin kamar ibu diambil Wak Bari. Ibu bilang jangan menyimpan dendam karena itu nggak baik.”

Dany memilih untuk menunda kalimat yang ingin diucapkannya. Ranti sepertinya masih belum selesai bercerita.

“Mungkin ibu tahu ya, Bang. Selama ini Ranti nggak ikhlas soal kamar itu. Ranti nyimpan dendam di dalam pikiran. Akibatnya selama ini Ranti nggak tenang, materi pelajaran pun susah masuk ke kepala.”
Dany mengelus rambut adiknya penuh sayang. Dikecupnya ubun-ubun Ranti.

“Ibu benar, Ranti. Kita ikhlasin aja. Mudah-mudahan Allah kasih rejeki lebih banyak buat kita jika kita ikhlas.”

Ranti mengangguk-angguk. Wajahnya kini cerah, matanya berseri-seri. Dany ikut senang melihatnya.

7 komentar pada “[Cerita Pendek] Kamar Ibu”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s