
Menur merapikan sampur hijau di lehernya. Dia mematut diri di depan cermin; kemben merah dan stagen membalut tubuh langsingnya. Penata gamelan memberi isyarat, Menur mengangguk mantap. Sejurus kemudian dia telah ada di panggung. Tubuhnya bergerak gemulai seirama kendang. Menur ada di dunianya.
“Aku mencintai pekerjaanku. Aku ingin kelak mati di panggung, ” ucap Menur suatu ketika.
Beberapa lelaki naik ke atas panggung. Menur mengalungkan sampur pada yang tertampan, mengajaknya menari. Menur tersenyum, juga pria gagah itu. Tapi senyumnya berbeda makna. Sebilah pisau dia cabut dari balik kemeja, menghunjamkannya ke perut Menur.
“Aku tak suka kau menggoda Mas Damar. Dia milikku!”
diikutsertakan dalam #FF100Kata
Esseehhhh….kamu kalo ceritanya tentang yg ginian dapet banget deh. #kemudiandilempar
ginian gimana, dika? *lempar kulkas 3 pintu
Hehehe. Suka nih bang ceritanya :).
makasih, dikaaaa :*
gilak…. visual.. visuaaal…
keren nih…! sumfeh ana zuzur..!
sumfahh…ane zuga bilang makasihh… :p
suka di bagian ini… : ‘mengalungkan sampur pada yang tertampan’
jebakan ceritanya keren… Menur memang ada di ‘dunianya’ banget 😀
makasih, mas tino.. 🙂
bikin versi panjangnya Ga… ini cerita bisa di bikin magis nih… visual banget pas mbacanya…
insya allah, mas. aku masih perlu banyak referensi untuk bikin versi panjangnya. bikin yang 100 kata aja ‘harus’ baca beberapa artikel dahulu. ilmu masih cetek soal budaya sendiri. hehehe.
coba tentang tari ‘ronggeng’
sipp, insya allah dicoba. 🙂
bieeeeeeeeeehhh.. seremmmm :p
*tutup mata* :p
yang pasti ada yang suka dengan sesama jenis 😀
adaaaa…. 😉
Heh? 😯
Beneran mati di panggung, dia…
belum tentu, Carra… 😉