“Rentangkan sayapmu, Lila.”
Lila mengembangkan perlahan sayap kecilnya. Ia terperangah. “Ibu Peri, cantik sekali!”
Sepasang sayap tumbuh dari punggung Lila. Ungu, warna kesayangan. Helai-helai bulu halusnya melambai ditiup angin.
Ibu Peri tersenyum. “Kamu anak baik, Sayang. Sudah sepantasnya mendapat kebahagiaan. Penderitaan harus menjauh dari hidupmu.”
Ibu Peri menggenggam tangan mungil Lila. “Tutup matamu sebentar, Sayang. Jangan takut, ada aku di sebelahmu.”
Lila menurut. Matanya memejam, sementara sayap mungilnya mengepak pelan. Perlahan dia rasakan kakinya terangkat dari tanah. Lalu tubuhnya terasa ringan. Semakin ringan.
“Aku terbang, Ibu Peri!” jeritnya senang. Lila membuka matanya. Takjub. Melihat daratan dari ketinggian ternyata sangat mengasyikkan. Jalur sungai yang berkelok. Sawah-sawah yang hijau kuning. Rumah-rumah mungil.
“Cobalah terbang sendiri, Lila.” Perlahan Ibu Peri melepaskan genggaman tangannya.
Lila mengangguk. Mencoba menyeimbangkan tubuh. Awalnya masih canggung, tapi sebentar kemudian dia mulai terbiasa. Lila dan Ibu Peri terbang melintasi pucuk-pucuk cemara, bercengkerama dengan rama-rama, dan menyapa burung dara.
“Kita mau kemana, Ibu Peri?”
“Menemui kedamaian, Sayang. Tempat dimana segala kesukaran tak lagi dirasa. Tempat terindah untuk berbahagia.”
Meski tak paham, Lila tak bertanya lebih jauh. Dia hanya terbang mengikuti Ibu Peri, di antara suasana alam yang hangat menyenangkan.
Tapi cuaca cerah tak berlangsung lama. Langit mendadak gelap. Sesekali petir menyambar. Hujan deras turun tiba-tiba. Lila kebingungan mencari tempat berteduh. Di depan, Ibu Peri tak lagi terlihat.
Di antara derai hujan telinga Lila menangkap suara. “ Jangan menangis, Ma. Mama sayang sama Lila, kan?”
Ajaib! Suara itu membuat hujan berhenti. Petir menghilang. Langit berangsur-angsur cerah.
**********
“Bacakan terus dongeng itu untuk Lila, Ma. Relakan dia pergi.”
Ayah Lila mengusap bahu istrinya yang mencoba terus bercerita meski terisak dan berlinang air mata. Di hadapan mereka terbaring tubuh mungil dan kurus Lila. Matanya mengatup tapi bibirnya tersenyum. Lila tengah menjadi peri kecil dalam mimpi terakhirnya. Diiringi dongeng kesayangan dia terbang menuju keabadian.
300 kata.
Gak nyata !!! Menurut ane sih flat bg :D. Maaf
No need to apologize. 🙂 | ceritanya memang nggak punya unsur ‘ledakan’. Diniatkan seperti dongeng aja. 😉
iya, kayak dongeng. request manaaa requesttttt
rikues yang mana ya? *mendadak amnesia. :p
rikues yang mana yaaaa? *mendadak amnesia. 😀
ayo semangat mak,!!! hehhe
Ayo! 🙂
Meski ketebak dari awal kalau Lilanya mati, cerita ini tetap NICE ^^b
“Iya, Kak Evi, Lila memang ceritanya mati. Kak Evi pinter deh..” 🙂
ceritanya bagus,
merangkai kata-katanya dlam bercerita jg keren
buatku terhanyut dengan suasana ceritanya
😀
wah…makasih ya Selvia… udah mampir baca, komentar, ehh…ditambah pujian pula. 🙂
Lila, kasihan Mamamu, Nak. TT__TT
“Iya, Kak Isti, kasihan Mama…” 😦
Move on dong, Ma! Hiks …
“Lila juga maunya Mama nggak terus-terusan sedih, Kak Eksak. Lila senang kok berada di sini.”
Ealaaah, bacanya pas anakku lagi sakit pulak T_T *amit2*
Sediiihnyaaaaaaaaaaa 😥
“Maafin Lila karena udah bikin Kak Ranny sedih ya. Lila nggak sengaja Kak. Semoga anaknya lekas sembuh.”
yaaaa matiii…
semoga arwahnya diterima disisi-Nya, amin
“Amiiin. Makasih ya Kak Jiah udah doain Lila.”
Lilaaaaaaaaaaaaaaa… kenapa pergi? 😥
hiks….
“Kata Ibu Peri, Lila akan lebih bahagia disana, Kak Carra. Kakak jangan sedih, yah.”
Cerita yang manis meski sad ending. Sukaaa
makasiiihh…. 🙂
Semoga segera lahir Lila2 yg baru untuk kedua org tuanya 😀
Amiiin….. 🙂
huwahhhh….. kesian Lila-nya *usap air mata*
*sodorin tisu*
Jangan sedih, Orin. Lila justru tengah berbahagia. 🙂
huaaaa, manis sekali baaaaang :’)
tapi tragis?
makasih udah mampir, Menik. 🙂
iya sih, tapi rapi kok bang kemasannya #eh
hehehe, thanks yah 🙂
iya bang 😀
🙂
Lilanya jahat, lebih milih ibu peri daripada ortunya sendiri… (Lho?) Haha…
Nice. 🙂
kan enak sama ibu peri, diajak jalan-jalan pake sayap. hehehe. | thanks yah udah mampir 🙂