[Flashfiction] Bapak

foto milik Mbak Orin
foto milik Mbak Orin

“Bapak, apa kabarmu?”

Ingin sekali aku menanyakan hal itu saat kita bertemu. Aku akan raih tanganmu yang mengeriput, membawanya ke dahi sebagai tanda hormatku. Tapi aku belum mampu, tidak untuk saat ini. Sepuluh tahun berlalu begitu saja sejak terakhir kita bertemu. Sepuluh tahun yang terasa seolah baru kemarin.

“Bapak, bagaimana kesehatanmu?”

Masihkah sesak napas menghantui hari-harimu? Dulu saat aku masih bersamamu, aku akan bergegas mencari jeruk nipis di dapur, mencampur air perasannya dengan secangkir air hangat dan gula batu. Lalu kau meminumnya perlahan, berbaring di dipan sambil kupijat kaki kurusmu.

“Bapak, apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?”

Aku tak tahu apakah Bapak tahu penyebab kejadian sepuluh tahun lalu itu. Sungguh aku tak mengerti mengapa ada segerombolan orang yang mengepung rumah kita, berteriak kasar, memaki dan menghancurkan barang-barang sederhana yang kita punya. Jika Bapak memang tahu, tolong beritahu aku.

“Apakah Bapak terluka pada malam itu?”

Saat kita bertemu, akan aku periksa dahimu. Mungkin ada bekas luka di situ. Sebab malam itu kulihat seorang penyerbu memukulkan kayu yang ia pegang ke dahimu. Kau terhuyung, jatuh terduduk memegangi dahimu yang mengucurkan darah. Aku meraung saat itu, Pak. Aku menyerbu ke arahmu. Tapi mereka telah lebih dulu menyeretmu menjauh. Mengabaikan jeritanku. Kepedihanku.

“Kemana saja Bapak selama ini?”

Aku terus mencarimu, Pak. Bertanya ke sana ke mari. Menelisik tak kenal jeri. Sampai seseorang membisikkan kabar burung, bahwa kau sebenarnya seorang telik sandi. Mata-mata pemerintah yang mengundurkan diri. Lalu pemimpin-pemimpinmu merasa kau menyimpan terlalu banyak rahasia, sehingga mereka putuskan kau harus dibungkam selamanya. Aku cuma bisa menahan ngeri. Lalu harapanku mati.

“Kau terlihat jauh lebih tua, Pak. Aku tak bisa bayangkan derita apa saja yang telah menimpa.”

Sebulan lalu tanpa sengaja aku melihatmu saat aku dan suamiku – ya, aku telah menikah – melintas di depan warungmu, gubuk sederhana yang bertengger di depan sebuah pabrik mainan plastik. Aku tak percaya kau masih hidup, Pak. Sungguh! Tapi aku tak berani langsung mendatangimu. Aku harus bicara rahasia itu pada suamiku. Syukurlah ia tak marah padaku, Pak. Bahkan ia mendukung niatku untuk menemuimu. Karena itu, di sinilah aku sekarang, di depan warungmu.

**********

“Mama jadi turun?” suara serak tapi lembut suamiku membuyarkan angan. Aku mengangguk sambil tersenyum, membuka pintu mobil dan berjalan ragu-ragu menuju warung. Suamiku menyusul dari belakang. Kulihat lelaki separuh abad itu sedang membelakangiku, membereskan sesuatu di bagian dalam warungnya.

“Assalamualaikum.”

Bapak menghentikan pekerjaannya. Mungkin ia masih ingat dengan suaraku. Tubuhnya berbalik. Mata tua itu menatapku begitu lekat. Bibirnya gemetar bicara.

“Rasmi….”

Sekuat tenaga kutahan air mata. Kukuatkan hati untuk tidak memeluk tubuhnya. Aku tak bisa. Ada suamiku yang menemani. Kuulurkan tangan ke arahnya.

“Iya, Pak. Ini aku, Rasmi. Dan ini suamiku, Ardi.”

Mata Bapak memerah basah. Ia menjabat tangan kami. “Kapan kalian menikah?”

“Tiga tahun lalu, “sahut suamiku.

Bapak mengangguk pasrah. “Semoga langgeng.”

Bapak buru-buru berlalu ke balik warungnya. Meninggalkan aku yang masih tergugu. Akhirnya aku bertemu dengannya, suamiku yang kukira sudah mati, sepuluh tahun yang lalu.

*480 kata

24 komentar pada “[Flashfiction] Bapak”

    1. dorrr!!!
      kaget nggak mbak Orin? Nggak? Bilang kaget dong..
      hehe.

      kalau ga mau ketinggalan info-info terbaru dari aku, gabung aja ke…
      adaww!!
      *ditimpuk sendal.

      😀

      makasih udah mampir mbak 🙂

  1. Waaaa….
    Awalnya biasa saja, bahkan aku nyaris malas meneruskan. Tapiiiii ternyataaa…endingnyaaa…sukses membuatku terjengkang!
    Kereeen, Bang.

  2. Waaaahhh… Di awal asli aku kira ini cerita anak yg ketemu ama bapaknya yang diculik oleh antek pemerintah…. Gak taunya ini kisah mantan suami istri toh (*sialnya setelah baca komenmu atas komen ronal yang terbayang di kepalakh malah si inggrid tansil dan suaminya syarif hasan…hahahahaha)

    1. inggrid kansil dan syarif hasan? jiahahaha…nggak kepikiran sama mereka lho pas nulis ini. 🙂 | iya, karena beda umur yang cukup jauh ( 10-15 tahun) jadi tokoh Rasmi manggil suaminya dengan sebutan ‘bapak’ yang mengarah pada hormat. | Makasih ya mbak Ade udah mampir. 🙂

    1. iya, beda umur mereka lumayan…jadi si bapak sekitar 50th, istrinya sekitar 35. 🙂 | thanks udah mampir mas ronal… 🙂

Tinggalkan Balasan ke riga Batalkan balasan