Sendok berisi nasi gurih dan sejumput telur dadar tak jadi kusuapkan ke dalam mulut yang telah membuka ketika aku sadari seseorang telah berdiri tepat di depanku. Kuangkat kepala memandang sosok itu, lelaki tua berkulit gelap dengan keriput yang telah memenuhi seluruh kulit tubuhnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah kayu bulat yang difungsikan sebagai tongkat. Tangan kirinya terangkat sejajar dengan dada. Bibirnya sedikit terbuka, sebuah kalimat pendek meluncur.
“Sedekah, Nak.”
Kuletakkan kembali sendok di piring, merogoh kantung baju, mengambil selembar uang seribuan dan mengulurkannya pada lelaki tua itu. Tanpa mengucapkan terimakasih – atau memang aku yang tak mendengarnya – ia berlalu menuju sebuah meja di seberangku. Penjual sarapan – seorang ibu setengah baya- mendekatinya dan ia tampak memesan sesuatu. Tak lama kemudian si Ibu kembali membawa sepiring nasi gurih dan segelas kopi. Lelaki tua itu tampak santai menikmati sarapannya. Aku hanya memperhatikan sekilas lalu melanjutkan sarapanku yang tertunda.
Setelah selesai sarapan, kusempatkan membaca harian pagi ini. Beberapa berita kubaca sekilas saja.
“Membosankan,” gumamku pelan. “Jarang sekali ada berita yang menggembirakan. Kalau nggak berita korupsi, ya berita politik yang nyebelin. Huh!”
Kuletakkan koran di meja dan menyeruput habis teh manisku. Kulirik meja sebelah, lelaki tua itu sudah tak ada lagi. Aku bangkit berjalan menuju si Ibu penjual sarapan.
“Berapa, Bu?”
“Delapan ribu, termasuk teh manis.”
Sambil mencari uang kembalian, si Ibu bertanya ke padaku. “Kamu ada perhatiin kakek tadi nggak?”
“Nggak. Memangnya kenapa?”
“Ada yang bilang sama Ibu, kalau kakek itu suka main buntut.”
“Ah, masak?”
“Iya, Ibu awalnya juga nggak percaya. Tapi kamu ada liat nggak kalau di kantung baju kakek itu selalu ada pulpen dan notes?”
Aku mencoba mengingat-ingat. Kakek itu sudah sering ke tempat ini. Nyaris setiap pagi aku bertemu dengannya. Adakah pulpen dan notes di kantung bajunya? Oh, iya! Ada!
“Ini dek kembaliannya.” Si Ibu mengangsurkan selembar uang dua ribuan. Aku menerimanya sambil berpikir. Apakah sedekah yang kuberikan itu digunakan si kakek untuk pasang buntut? Astaghfirullah! Apa aku ikutan berdosa ya? Tapi kan aku nggak tahu duit itu dipakai buat apa. Ya sudah, mulai besok kalau ketemu kakek itu, aku nggak akan kasih sedekah lagi. Aku menetapkan pilihan dalam hati.
******
Kakek itu datang lagi ketika aku sedang sarapan. Sekilas kulihat ada pulpen dan notes kecil di kantung bajunya. Aku memantapkan hati, memutuskan untuk tidak memberikannya sedekah.
“Maaf, Kek.” Aku berkata singkat sambil mengangkat tanganku, menolak permintaannya. Wajah lelaki tua itu tampak sedikit kecewa. Tanpa mengucapkan apa-apa dia berlalu menuju sebuah meja di seberangku. Aku bergegas melanjutkan sarapan. Tersisa waktu sepuluh menit sebelum waktu untuk bekerja tiba.
Selesai sarapan kusempatkan melihat-lihat berita harian pagi. Masih belum ada berita yang menarik. Kubuka halaman terakhir di kolom ‘Renungan Jum’at’. Mataku terpaku melihat judul yang tertulis di situ “Sedekah Salah Sasaran?”. Aku ingin langsung membaca tulisan itu, tapi waktu sudah mendesak. Kudekati Ibu penjual sarapan lalu berbisik pelan.
“Bu, korannya kupinjam sebentar yah. Halaman yang ini aja, ntar siang aku kembalikan.”
Ia mengangguk. Memberikan uang kembalian. Memandangi aku yang bergegas menuju motor dan berlalu ke kantor.
Setibanya di kantor, setelah menempelkan jari di mesin absensi aku bergegas duduk di kursi kubikelku. Sepagi ini masih belum ada pelanggan yang datang. Aku masih sempat membaca. Kubuka halaman koran yang tadi kupinjam, menelusuri kalimat demi kalimat yang tertera. Pandanganku terpaku pada sebuah hadis yang dikutip sang penulis mengenai sedekah yang semula dikira salah sasaran, padahal bisa jadi berdampak besar bagi penerimanya. Kubaca perlahan kalimat-kalimat dalam hadis itu.
Dari Abu Hurairah radiyallahu anhu , Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ada seseorang mengatakan,”Sungguh aku akan memberikan sedekah”. Di malam hari, ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang pencuri (tanpa diketahui). Pagi harinya, orang-orang membicarakan,”Tadi malam, ada seorang pencuri mendapat sedekah”. Orang itu mengatakan,”Ya Allah, hanya kepada-Mu segala pujian. Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari berikutnya, ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada seorang wanita pelacur (tanpa diketahuinya). Pagi harinya,orang-orang membicarakan, ”Tadi malam, ada seorang wanita pelacur mendapat sedekah”. Orang itu mengatakan, ”Ya Allah,hanya kepada- Mu segala pujian. Sungguh aku akan memberikan sedekah lagi”.
Di malam hari ketiga, ia keluar membawa sedekah dan memberikannya kepada salah satu orang kaya (tanpa diketahui). Pagi harinya,orang-orang membicarakan, ”Tadi malam,ada orang kaya mendapat sedekah”. Orang itu mengatakan, ”Ya Allah, hanya kepada-Mu segala pujian. Untuk seorang pencuri, seorang pelacur dan orang kaya”.
Lalu orang itu didatangi dan dikatakan kepadanya, ”Adapun sedekah yang engkau berikan kepada si pencuri, mudah-mudahan dengan harta itu ia dapat menahan diri dari perbuatan mencuri. Adapun si pelacur, mudah-mudahan dengan harta itu ia kan menahan diri dari perbuatan zina. Adapun orang kaya, barangkali ia dapat mengambil pelajaran sehingga ia pun mau berinfak dari harta yang Allah berikan”
Hadits riwayat Bukhari ( 1421 ) Muslim (1022 )
Di akhir tulisan, si penulis mempersilakan pembaca untuk menarik kesimpulan sendiri berdasarkan hadis yang ia kutip tadi. Ya, ia tak perlu membuat kesimpulan. Aku sudah melakukannya sendiri. Kulipat baik-baik harian itu, menyimpannya di dalam laci. Pelanggan pertama sudah datang, aku sudah siap melayaninya. Dan aku juga sudah tahu apa yang akan kulakukan bila esok atau lusa aku bertemu lelaki tua itu lagi.
Cerpennya bagus bro :))
-www.fkrimaulana.blogspot.com-
Makasih, bro.. 🙂
uhuk. tapi kadang2 ati gak rela kalo ketauan dia sebenernya bukan orang yg berhak *toyormukasendiri 🙂
iya, sih. awalnya aku juga gitu. tapi setelah baca-baca, jadi ngeh. semua tergantung niat sih. Allah pasti tahu. 🙂
kembali ke niat masing-masing aja mbak… 🙂
Nah, kan? jangan berhenti bersedekah wong niat kita baik kok. Biarlah Allah saja yang menilai hehehehe….
iya…. 🙂
Makasih ilmunya Bang!
sama-sama, Fan. Cerita ini emang abang alami sendiri. Setelah nyari-nyari referensi, baru deh dibuat jadi cerpen. Mudah-mudahan berguna. 🙂