[Cerita Anak] Langit, Awan, dan Angin

bermain hujanSegumpal bocah awan gemuk terengah-engah menyusuri garis langit. Di belakangnya Tuan Angin meniup tak henti-henti. Lihat, ia menggembungkan pipinya sedemikian rupa hingga matanya menyipit, lalu mengembuskan napas ke arah awan gemuk.

“Cepatlah kau berjalan, wahai Bocah Awan. Penatnya pipiku mengembus.”

“Hei, Tuan Angin. Bukankah ini kemauanmu sendiri? Tentu kamu tahu tadi aku sedang berkumpul bersama-sama saudaraku hendak menurunkan hujan. Mengapa pula kau meniupku hingga kemari?”

“Ah, aku tahu tempat dimana air yang ada di perut tambunmu itu bisa lebih berguna. Saudara-saudaramu pasti bisa menyuburkan tanah kering di bawahnya dengan air yang mereka bawa. Diam saja lah. Dan berjalan lebih lekas.”

“Kenapa pula aku tak boleh tahu? Dan semestinya aku yang protes sebab kamu paksa berjalan cepat-cepat.”

Bocah awan menggerutu panjang pendek. Tapi ia terus menyusuri angkasa, nyaris tanpa berhenti. Bibi Langit yang melihat kelakuan mereka merasa heran. Ia pun tak tahan ingin bertanya.

“Wahai Tuan Angin, ada apa gerangan sehingga kamu meniup Bocah Awan nan gemuk ini begitu jauh dari saudara-saudaranya? Menyusuri garis tubuhku, seakan-akan tak ingin berhenti.”

“Oh, Bibi Langit, aku hanya ingin membantu seseorang saja. Tapi tak bisa kukatakan sekarang. Nanti bocah ini mengajuk pula. Biar nanti dia lihat apa yang bisa dia lakukan untuk membahagiakan makhluk Tuhan lainnya.”

Bocah Awan hanya diam mendengarkan. Tiba-tiba ia berseru.

“Tuan Angin, di bawah situkah aku harus menurunkan hujan? Lihat! Tanahnya begitu kering. Pepohonan meranggas dan hewan-hewan tampak sangat kehausan. Di sini kah?”

Tuan Angin menggeleng.

“Tidak, wahai Bocah Angin. Air yang kamu kandung tak cukup untuk membasahi kering tanah di bawah sana. Perjalanan kita tak jauh lagi. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Tuan Angin sambil terus mengembus. Bibi Langit hanya tersenyum. Membiarkan keduanya menyusuri tubuhnya.

Tak berapa lama, sampailah mereka.

“Nah, di sini lah harus kau turunkan hujan.”

“Tuan Angin, apa kamu tak salah? Lihatlah. Tanah di bawah sana sangat subur. Pepohonan menghijau, dan ternak pun kelihatan gemuk dan sehat,” protes Bocah Awan.

Bibi Langit pun menimpali.

“Benar yang dikatakan Bocah Awan. Tempat di bawah sana sepertinya tak memerlukan hujan.”

Tuan Angin tersenyum. Lalu dengan suara tenang ia berkata.

“Coba kalian perhatikan lebih seksama pohon itu, tepat di bawahnya. Apakah yang kalian lihat?”

Bocah Awan dan Bibi Langit menajamkan penglihatannya. Oh, lihat! Di bawah pohon itu ada seorang gadis kecil sedang bermenung. Sesekali terlihat ia mendesah. Matanya menerawang ke angkasa.

“Nah, kalian sudah melihat, bukan? Seorang gadis kecil. Ketika kemarin aku lewat daerah sini, aku juga melihat gadis kecil itu di bawah pohon. Aku merasa penasaran, apa yang dipikirkannya. Ia terlihat begitu sedih. Lalu kuminta seekor burung kecil untuk mendekatinya. Mendengarkan keluh kesahnya. Kalian tahu apa yang dikatakan burung kecil itu kepadaku?”

Bocah Awan dan Bibi Langit terlihat ingin tahu.

Tuan Angin melanjutkan.

“Dari burung kecil itu aku tahu, kalau sudah 2 hari ini adik si gadis sakit. Ia tak mau makan. Tubuhnya mulai lemah. Ia tak ingin apa-apa. Ia hanya ingin melihat hujan.”

Bocah Awan manggut-manggut. Lalu seperti ada sesuatu yang mengusik hatinya, ia hendak bertanya. Tapi sepertinya Tuan Angin mengerti apa yang dipikirkannya.

“Aku tahu, kau ingin bertanya, bukankah daerah di bawah sana sangat subur. Pastilah sering hujan. Benar begitu?”

Bocah Awan mengangguk. Bibi Langit pun sepertinya punya pertanyaan yang sama.

“Yah, seperti kalian lihat. Daerah di bawah sana sangat subur. Tapi sudah seminggu ini tidak turun hujan. Setiap melewati daerah ini, awan-awan akan berkata “Mari kita turunkan hujan di tempat lain, tempat ini sudah cukup air.” Manusia di bawah mencukupi kebutuhan air mereka dari danau kecil di ujung sana. Tapi adik si gadis kecil sedang sakit dan ingin melihat hujan. Untuk itu lah kubawa kamu sampai kemari,” Tuan Angin mengakhiri penjelasannya.

Bocah Awan terlihat paham. Wajahnya kini berseri. Ia menyadari bahwa hujan yang akan diturunkannya bisa membawa kebahagiaan bagi orang-orang di bawah sana.

“Baiklah, Tuan Angin. Aku mengerti.”

Lalu Bocah Awan mengerutkan tubuhnya sedemikian rupa. Hingga air yang ada dalam tubuhnya menetes jatuh ke bumi. Mulanya hanya jatuh satu-satu. Lalu perlahan menderas.

Di bawah, gadis kecil tadi mendongak. Kulit tangannya terasa basah. Apakah gerangan yang jatuh dari atas? Ketika ia menyadari hujan sedang turun ia melompat seketika lalu menghambur ke dalam rumah.

“Titaaaaaa. Hujan sudah turun! Hujan sudah turun!” teriaknya sambil menari-nari.

Dari dalam kamar, seorang bocah kecil melangkah tertatih. Matanya yang semula suram mendadak bercahaya menatap tetesan air yang jatuh di depan rumah.

“Hujan, kak. Hujan!”

Keduanya beranjak ke beranda. Tangan mereka menjulur ke arah tetesan hujan yang mengalir dari atap. Terasa begitu menyejukkan di kulit. Sungguh menyenangkan membiarkan air mengalir di sela-sela jemari. Iseng, gadis kecil memercikkan air ke wajah adiknya. Si adik menjerit senang, lalu bibir keduanya tersenyum.

Di angkasa pun sedang ada yang tersenyum.

Tinggalkan komentar